Kisah-kisah yang ada dalam dalam pusi ini.
Bagian 1:
Tidak pernah terpikir untuk menyerah kalah. Tidak pernah mau jatuh pada kejatuhan. Namun tanpa aba-aba ada kebisingan yang membuat hati gentar dan cemas. Rekam jejak yang dahulu kembali mencuat dalam ringkas ingatan.
Pagi ini, pagi di tanggal sembilan bulan kedelapan. Kenapa dan kenapa kenapa harus terjadi lagi? Kebisingan memberikan krisis. Kebisingan dari predator berbahaya, tidak pernah akan mengalah, keras. Kembali kepada patah. Kesejahteraan lepas, lelah menyergap tubuh. Untuk apa bertahan alih-alih tidak bahagia. Seperti ada jurang yang tak tersebrangi untuk kata damai sejahtera.
Ada lingkaran depresi, hanya keterpaksaan sampai mati barangkali. Predator berbahaya memangsa, merumitkan hidup hanya dengan masalah dan masalah. Ternyata hanya kemalangan dan mampus yang ada. Masih terlalu panjang sisa hari ini, bersetubuh dengan sepi dan ketidaktenang teduhan. Menjadi mainan mungil untuk lelaki dan perempuan itu, kenapa harus merelakan diri terhadap hal itu?
Predator berbahaya mengisahkan kisah kelam, memberi rasa pahit. Ini lebih pahit dari sekedar kopi pahit tanpa gula. Pagi ini menawarkan sarapan dengan kegaduhan dan keributan dalam kepala. Ingin membunuh duka. Dikecewakan terlalu banyak oleh khianat.Â
Selamat pagi, borgin. Nga golap hian hari on. Sudah terlalu lelah, dengan diri sendiri saja tidak selesai bagaimana mampu menghadapi orang lain. Entah akan seperti apa akhir dari duka ini. Andigan do Tuhan, sae duka na balau on? Godang hian na parbelak di portibion.
Bagian 2:
Sebelum ini, merasa baik-baik saja, padahal menjadi pengusik yang berbahaya. Ketika ada getaran telepon, disetubuhi kesenangan hingga berakhir pada video call yang berulang, membicarakan hal konyol hingga berakhir pada pembicaraan sampah. Rasanya seperti ada kupu-kupu dalam perut yang menggelitik menimbulkan tawa bahagia walau ternyata itu hanya tawa palsu.Â
Sebelum hancur lebur pada Agustus hari ke tiga belas, masih terbahak-bahak bercerita kebodohan.  Dan akhirnya, ditikam luka yang ternyata  sangat-sangat membinasakan. Terlalu memohon cinta, berharap pada harapan bodoh.  Satu siang pada suatu hari, mungkin bisa saja kembali tapi apakah tempat untuk berpulang adalah seseorang yang pernah disebut rumah. Teruskah mau menjadi kalah, menjadi gelisah, menjadi mengerikan hanya untuk sejarah masa lalu!
Empat puluh delapan menit sebelum tanggal tiga Agustus, menjadi awal sebelum hancur lebur, merusak rumah serta halaman-halaman, dan lima pohon di dalam halaman itu. Terlalu mudah luluh, hanya dengan kalimat "hancur kali aku inang". Kenapa harus menjadi pembunuh?
Pasti akan ada lagi rasa untuk merindukan! Pasti sulit tapi cobalah untuk menggugurkan perihal itu, itu adalah kebodohan yang dipelihara. Tak pernah ingin sendiri, namun bersama pun banyak yang dikorbankan. Banyak yang akan mati.
Sudahi ketimpanganmu. Begitu sulitkah melepaskan, yang dari awalnya tidak pernah menjadi milik! Ini permainan hidup. Ini perpisahan yang tak perlu lagi dikenang, tak perlu lagi dirayakan. Untuk apa menjadi sedih pada kesedihan yang seharusnya sudah lama terhenti.Â
Berhenti jadi manusia berhati iblis.
Bagian 3:
Seperti pohon kering yang rantingnya patah dan dedaunan yang akan terbang jatuh sbab berguguran. Sering merasakan itu. Hari ini menahan sakit tapi harus ikhlas.
Agustus pagi ini, Agustus sebelum dirayakan ke lima puluh sembilan. Tidak boleh egois, tidak boleh menjadi pohon yang rantingnya patah demi seseorang. Terima kasih sebelumnya seseorang itu berkata. Seseorang yang sebenarnya adalah rumah dan memang rumah. Melihat tertawa-tawa bahagia dan tersenyum itu juga merupakan kebahagiaan.Â
Sebelum ini, pernah hancur lebur karena seseorang itu. Namun tidak sanggup untuk menjadi sunyi. Hati ini menolak untuk menjadi gagu, karena terlalu berharga untuk dijadikan sunyi.
Agustus, adalah hari di mana rela kehilangan demi menyambut senyuman dan tenang teduh seseorang. Tidak terhitung sebenarnya banyak umpatan yang terucap, banyak luka yang ditimbulkan. Lagi-lagi sadar, untuk seseorang itu tidak boleh terlalu kaku, harus selalu ada maaf.Â
Tetap manis walau gersang, bagaimana rasanya? Tidak untuk dibagikan kepada khalayak umum. Terkadang jadi gerimis terkadang pula jadi badai. Tetap ada kasih yang tidak boleh diingkari apalagi berkhianat, dan sampai kapanpun tidak pernah akan tuli, bisu atau buta terhadap semesta seseorang itu. Karena dahulu, hari ini dan esok seseorang itu tetap menjadi seseorang yang memiliki nilai tak terbatas.Â
Bagian 4:
Lagi-lagi predator itu timbul, menghempaskan harapan yang sudah dibangun dengan baik. Terlalu manja pada seseorang yang tidak perlu, memuakkan. Ingin mati, bukan hanya dia yang ingin mati banyak orang lain di sekitar dia ingin mati terlebih menghadapi dia yang otoriter dengan tatapan dan ucapannya. Di mana janji-janji yang sudah diucapkan, ingin berubah.
Malam ini kembali patah. Sungguh ingin tidak bisa dan tidak tuli tapi malam ini itu tidak berhasil, hari-hari terakhir menjelang habisnya bulan ke sebelas tahun ini, entah akan seperti apa. Semoga memang tidak menjadi manusia yang kembali berhati iblis. Tidak ingin hancur lebur.
***
Rantauprapat, 9-13,15 Agustus, 21 November 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H