Perempuan itu ketakutan. Tidak pernah cukup waktu dia merasa tenang teduh. Kehilangan damai sejahtera. Sendiri. Rekam jejak yang payah kembali terulang. Brengsek.Â
Kenapa dan kenapa kebisingan tidak pernah menjauh pergi. Tidak pernah mengerti, sudah bersama untuk berapa kali dasawarsa tapi tak pernah henti-hentinya untuk mau berdamai.Â
Ada saja kebisingan yang mengundang kemarau. Benar-benar rusuh dan patah. Kenapa tidak berakhir saja hari ini. Mau sampai kapan berlanjut?Â
Ada kisah yang belum usai dan kembali ke permukaan. Iya ini kisah perempuan itu dan rekam jejak yang payah. Perempuan yang ketakutan tentang drama hidup yang terjadi.Â
Ingin marah tapi tak tahu kepada siapa marahnya. Ini seperti kisah sepi yang berpenghuni banyak makhluk. Dari keseluruhan hari-hari perempuan itu barangkali mayoritas dipenuhi belasungkawa. Malang.Â
Pada suatu hari nanti, mungkinkah perempuan itu memiliki langit cerah. Hingga bisa berdiam diri dengan teduh.Â
Ini bukan catatan biasa lebih kepada kegaduhan demi kegaduhan yang mengganggu kepala perempuan itu.Â
Di sini, perempuan yang yang ketakutan itu berharap mata telanjang yang ia punya akan pernah menangis bukan karena hal-hal yang membuat ia menyesal untuk lahir dan lebih sering memilih kematian yang tak kunjung ada.Â
***
Rantauprapat, 26 Juli 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H