Ingin bisu dan membisu, tapi sudah lebih dari satu dasawarsa itu acapkali gagal. Dan, tahun-tahun berikutnya, belum bisa memastikan, bisa membisu atau kembali gagal untuk membisu.
Karena baru-baru ini aku mendapati pertanyaan bodoh dari kamu yang pernah kusebut rumah. Kalau aku mati datangnya kau dek? Aku dengan jelas mengatakan tidak. Karena aku benci keadaan kita. Entah kebencian apa yang mendasari.
Kepada kamu yang pernah kusebut rumah, baik-baik sajalah di sana. Jangan merelakan dirimu mati karena kebodohan, aku benci mendengar suaramu yang mengatakan "hancur kali aku inang". Jangan seperti itu, aku merasa bersalah.Â
Sesekali bisa mendengar tawa dan ceritamu saja aku sudah cukup, pernah aku tergesa memiliki keputusan barangkali juga kamu pun begitu, dan aku mengakui kesenjangan yang ada di antara kita mayoritas adalah kegagalanku.Â
Ketika aku mendengar, deru nafasmu yang tersendat, seketika itu juga aku merasa hancur. Mengingat interaksi, juga daya tarik yang pernah ada, aku menyesal waktu itu dengan keputusanku, aku benar-benar berharap kamu akan baik-baik saja.
Aku takkan pernah sengaja lupa tentang kamu, rekam jejak yang pernah ada akan seperti halaman buku yang pada akhirnya akan tertutup. Namun bukan pula, hancur dan memusnahkan. Kepada kamu yang pernah kusebut rumah, siapapun pemilik rumah yang akan kamu tuju, kuat dan bertahanlah. Jangan jadikan rumahmu tanpa jendela. Panas, menggelap dan penuh keributan.Â
Yang pernah kusebut rumah, entah juga pernah menyebutku sebagai rumah, mari menabur harapan demi harapan baik untuk kita masing-masing. Dan barangkali ke depan kita akan kembali bisa saling bercerita dengan titik-titik yang menjadi garis dalam kehidupan kita masing-masing.Â
Karena kita adalah titik yang takkan pernah menjadi garis.
***
Rantauprapat, 24 Juli 2024