Hanya benar-benar menerka, mengira-ngira, perasaan nyaman yang menggoda.
Dalam hitungan hari, terbuai pada dosa yang merayu. Merindukan sifat-sifat manja, bersenda gurau tapi berujung pada kesia-siaan.
Permintaan-permintaan yang bertentangan dengan hati pun pikiran, hanya hasrat dan nafsu yang ada. Belum ada titik temu, namun sudah berdialog kepada dosa, pada hujan yang basah. Menjadi liar, berisik, bertengkar di kepala.
Terlalu banyak gombalan yang bergelora, akhirnya hanya kesia-siaan. Abu-abu, seperti tidak hitam dan tidak putih. Mati tapi hidup, hidup tapi mati.
Ingin hal-hal yang romantisme tapi faktanya adalah horor yang mematikan. Rekam jejak yang payah. Hari yang ketujuh belas bulan ketujuh, adalah kembang api terakhir di senggang waktu dengan segala kebodohan.
Selepas malam ini, takkan bisa lagi menjadi bidadari yang benar-benar menari-nari, kembali kepada keheningan. Ah, lagi-lagi perpisahan. Ini seperti patah hati, namun kali ini tak begitu sakit. Jejak kata malam ini: akhirnya hanya kesia-siaan.
Besok, lusa, dan hari-hari berikutnya, tak akan lagi pernah bertemu. Hiruk-pikuk hidup, ternyata bertemu dalam ketidaksengajaan bisa jadi bencana mematikan. Panas yang tak diinginkan.
Antara nyaman dan kesepian, adalah rasa yang tak perlu divalidasi. Hati-hatilah dengan hati, jika tak ingin berada di kubangan kebodohan yang berujung pada; kesiasiaan.
***
Rantauprapat, 17 Juli 2023
Lusy Mariana Pasaribu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H