Kebodohan kala itu.
Pada harapanku, Â aku pernah menginginkan sebuah rumah denganmu. Rumah yang memberi penerimaannya kamu terhadap ketakutan pun keterbatasanku. Begitu ingin, hingga lupa bahwa kamu bak kilatan LONGGUR yang bernama bahaya.
Andai, aku bisa terus berandai-andai untuk menjadi selalumu. Aku juga tahu, itu andai yang tak pernah mungkin terjadi. Karena hidup terus memberikan realita. Realitanya adalah kita adalah KETIDAKPASTIAN dari KETIDAKMUNGKINAN. Tidak bisa aku terus menjadi PEMBOHONG untuk diriku sendiri karena merawat cinta padamu.
Mau tak mau, harus melepaskan. Walau sulit dilakukan. Ingin menuju matamu. Menjadi semogamu. Tak berdaya, karena aku yang akan jauh lebih terluka. Banyak yang akan tersakiti jika melakukan itu.Â
Aku pernah menemukan titik kenyamanan saat ada di dekatmu. Larik dari sepasang matamu adalah hal yang bernama cinta yang pernah tumbuh di hatiku. Cinta yang keliru menuju jalannya. Hingga tak akan pernah bisa dihahalkan. Â Bukan tak bisa, tapi terlampau sulit.
Kala itu, kisah sepi dan kacau seketika bisa terlepas. Denganmu, aku pernah rela kalah-mengalah dan terperangkap pada rima yang penuh sajak romantisme. Walau tak selamanya, penuh dengan dialog dan percakapan yang berenergi.
Sering aku bersedih setelah membaca dan mengingat harapan yang terbangun terhadapmu. Karena sampai saat ini, kamu masih sibuk di kepalaku. Aku pernah menginginkan sebuah rumah denganmu. Pernah bukan berarti masih menginginkan hal itu. Karena aku tahu pasti, kamu adalah cinta yang berujung salah pada awal pun akhirnya.
Walau sebenarnya perkara kepemilikan hati, itu sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar. Itu saja. Namun, siapa yang menguasai hati itu bisa dipilih.
***
Rantauprapat, 20 Juli sd 11 Agustus 2021
Lusy Mariana Pasaribu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H