Menjadi perempuan dewasa yang bertumbuh, sungguh perempuan itu ingin. Hari ini, ia tidak berhasil menghidupi itu. Kekejaman kata yang diterimanya, buat ia layu dan mengering. Terasing dari penerimaan hidup. Jangan cengeng, berkali-kali ia mengucapkan itu. Tetap saja air mata memang ada di mata telanjangnya.
Perempuan itu kembali berdansa dengan sebuah kisah tentang kekalahan. Dibandingkan dengan perempuan lain. Sakit. Pun merasa tidak diterima. Entah sudah berapa banyak tanya di hidup perempuan itu, kenapa dan mengapa disabilitas ini melekat pada dirinya? Pertanyaan yang belum kadaluwarsa. Ia tumbuh dewasa tapi tidak seutuh dan sepenuhnya.
Hidup tapi sebenarnya mati.
Mati tapi sebenarnya hidup.
Entah kenapa pernyataan ini seolah menertawakan diri perempuan itu. Bodoh. Ini sebuah kisah tentang kekalahan dan perempuan itu. Ia terkadang tidak mampu menjaga kesehatan mentalnya. Sedang sakit, bersimpuh di dalam hamparan semu belaka. Berani memulai kisah baru yang tidak seharusnya dimasuki. Kemudian, membiarkan tamu masuk dengan melewati batas.
Malam ini, perempuan itu tidak bersuka. Lari dan menjauh, benar-benar mau melakukan itu. Seandainya ia mampu, sayangnya itu mustahil. Andai yang tak akan pernah menjadi nyata. Perempuan itu bernada kebimbang raguan, ia berduka cita. Bagaimana mungkin, ia tidak terluka dan merasakan sebuah kisah tentang kekalahan jika harus menuai apa yang tidak pernah ia tabur.
Lagi, perempuan itu bertikai dan membunuh ketenteraman hatinya sendiri. Lalu perempuan itu pergi bersama penyesalan, tak mampu memerdekakan hati sendiri. Hujan malam ini, seolah tak mengurungkan niatnya menggoda perempuan itu. Begitulah saat cinta berujung salah. Rasa yang kebablasan. Lebih tepatnya, sensitif yang kebablasan. Dasar perempuan itu.
Ya, begitulah.
***
Rantauprapat, 28 Juli 2021
Lusy Mariana Pasaribu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H