Benar. Aku adalah kekasihmu. Aku menjadi perempuan yang menerima kesadaran hati karenamu. Kini, aku kalah. Pun aku digelayutberati kekhawatiran. Oh hidup, kenapa aku harus berbeda?
Kau tahu dengan pasti, betapa aku takut memulai. Aku menahan diri untuk karena ketakutan. Setelah memulai, ketakutan yang lain kembali menjadi-jadi dalam diriku. Aku takut kehilangan. Bukan hanya aku, kau pun sudah memiliki ketakutan yang sama. Dan aku menangis, kau pun menangis. Tapi siapa yang benar-benar menangis dan benar-benar takut kehilangan, sepertinya itu akan menjadi sebuah rahasia.
Masih bolehkah aku berharap?
Menyemogakan tentang kita. Atau kita, Â aku/kau akan benar-benar kehilangan. Menunggu hiruk pikuk untuk terjatuh. Bahkan sebelum pertarungan yang sebenarnya dimulai, kita sudah memilih berpisah.
Pun aku, kian bertanya. Di kedalaman hati, apakah kita sebagai kekasih : benar-benar saling menginginkan. Mencairkan keterasingan dan mengakhiri patah hati yang merayu. Lalu seperti apa, apakah kita akan menjadi kampung halaman dari cinta yang sudah terjalin? Pun aku tidak tahu untuk memastikan itu.
Atau, akan ada jurang yang tak terseberangi di antara hati kita? Kita memilih, namun tak memiliki. Ahh, menyesakkan memang. Pada waktu-waktu yang memberi keraguan, aku hanya pasrah. Mengenai perjalanan hati, mencintaimu tapi dengan banyak tapi lainnya...
Akankah kita tersesat dan berputar-putar pun benar-benar menghilangkan kisah yang kita pilih?
Pada akhirnya.
Tentang keinginanku,
Tentang harapanku,
Aku hanya bisa menyemogakan. Meski aku sendiri tidak cukup yakin. Entah yang kusemogakan akan menjadi masa depan dalam semestaku.
***
Rantauprapat, 18 Februari 2021
Lusy Mariana Pasaribu