Padahal malam ini, aku ingin menghidupi bahagia. Tapi ingin itu menjadi ingin yang hanya sekedar ingin. Karena hujan deras telah jatuh di akhir Januari. Malangnya, hujan itu jatuh bukan dari langit malam. Dan masih terlalu panjang tahun ini, masih ada empat puluh delapan minggu lagi. Mau tak mau, pada segala yang terjadi sekalipun itu lara, aku harus mau untuk berjabat tangan. Pasti ada tenang teduh yang akan bersimpangan dengan hidup.
Hujan deras yang jatuh bukan dari langit malam. Hujan deras yang menjadi mendung di mataku. Mendung di akhir Januari.
Seperti badai dan menyebabkan malam menjadi malang.
Segala kebahagiaan yang mengisi waktu di pagi hari hingga sore seketika tak berarti.
Tak ingin sebenarnya, lara dan kemalangan menduduki sebagian hati dan pikiran. Yang ada, lara menjadi milik malam ini. Haruskah kalah-mengalah, menjadi pertanyaan demi pertanyaan mengepung diri. Bahkan ingin menjadi pemberontak, barangkali. Tidak, sepertinya lebih memilih menjadi pecundang. Diam-diam dan mahir berpura-pura, bak jerami yang diterbangkan badai.
Hujan deras di akhir Januari.
Biarlah hanya memberi jeda untuk bahagia. Sebab, tak ingin kemalangan akan enggan untuk beranjak pergi.
Harus berjalan maju, tak ada nilai estetik dari diri yang tidak berjalan maju. Apa lagi dari diri yang tanpa kepala. Mungkin hujan deras sedang bercanda, tak perlu terlalu patah hati.
Tak ada yang salah pada hujan deras di akhir Januari, sekalipun tidak turun dari langit. Percayalah.
Mungkin lara dan kemalangan yang dirasakan malam ini, sebenarnya tidak begitu.
***
Rantauprapat, Januari 2021
Lusy Mariana Pasaribu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H