Aku ingin mati, aku ingin mati, kata perempuan itu. Tapi sampai saat ini, perempuan itu belum juga mati. Walau sebenarnya perempuan itu sudah sangat mencintai kematian. Sudah beberapa puluh tahun ini, mungkin lebih dari satu dasawarsa.
Bukan pula, perempuan itu tidak belajar arti menerima kenyataan. Bukan pula, ia mengingini keberadaan diri yang seperti itu. Maka ia mengharap mati tapi tak dapat. Ia hidup tapi sekarat yang tersisa.
Ia mencoba baik-baik saja. Namun sesungguhnya ia tak pernah baik-baik saja terhadap tatapan orang-orang melihat cara ia berjalan. Kemalangan seolah enggan beranjak.
Aku akan mati, aku akan mati bersama sedu sedan dan sunyi sepi, kembali perempuan itu katakan.
Disabilitas nurani jauh lebih rumit dari disabilitas fisik, itu adalah kesenjangan yang payah.
Huh, aku payah kata perempuan itu. Ya, saat ia menyaksikan orang-orang dengan segala tatapan mata yang penuh tanda tanya, ia seakan kehabisan nafas di setiap detiknya. Pertanyaan-pertanyaan seperti, Â kenapa harus aku yang seperti ini? Mengepung perempuan itu.
Terasa begitu sesak. Menahan luka yang teramat perih. Ini tentang sebuah luka yang telah mengguburku dalam kepura-puraan, perempuan itu berkata. Aku sudah mati, barangkali oleh hasrat yang bukan milikku lagi, lanjut perempuan itu.
Ah, sungguh menyedihkan!
Ingin mati tapi tak mati, seolah berpangkat Tuhan. Dasar perempuan yang payah.
***
Rantauprapat, 05 Januari 2021
Lusy Mariana Pasaribu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H