Aku seharusnya tahu aku tidak sendirian. Aku harus menghidupi, bahwa aku memiliki kebahagiaan. Bukankah dalam realita, tenang teduh tak selalu sejalan dan seringkali bersimpangan dengan hidup.
Entah kenapa, aku seseorang yang payah ini terlalu asik dengan patah hati. Di antara harapan-harapan yang membeku, aku sering tiduri sepi. Aku rasa aku ada di entah, ketika jauh dari keberterimaan.
Bukan pula aku tak pernah memutuskan untuk berpisah dari patah hati, namun yang masih menghampiri pikiranku adalah hal yang menyakitkan. Sebab, rasa sakitku begitu malang. Padahal, rasa sakitku tidak begitu.
Karena keraguan, aku sibuk bersama air mata bernama patah hati. Terhampar dalam kehampaan mimpi yang semu. Kemarahan makin lelap. Patah hati akhirnya menawarkan hal yang pandir di lembah ingatan.
Bila patah hati membuatku menampung penat, aku ada di mana, sehingga kubiarkan penat dan rusuh terbit atasku.
Hari ini, di tengah malam ini, di Desember yang dingin ini, aku mau mengakhiri patah hati di ujung tahun ini. Sebelum esok, sebelum pagi yang baru tiba, sebelum mulai menjalani tahun yang baru. Lewat doa, lewat keyakinan, lewat yang diusahakan, aku akan berusaha mengakhiri patah hati. Tak ingin menjadi gelembung dan kupu-kupu yang sayapnya penuh luka.
Aku bisa.
Aku harus benar-benar menghidupi, bahwa ada masa depan bahagia untuk diriku. Dan aku harus tahu, bahwa menidurkan patah hati dalam duniaku akan mengundang segala kesedihan padaku.
Setelah ini, kuduga aku mungkin bisa saja kembali patah hati, barangkali. Tetapi kuingin, patah hati tak menguasai dan menduduki pikiranku dengan kapasitas yang berlebih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H