Mohon tunggu...
Lusy Mariana Pasaribu
Lusy Mariana Pasaribu Mohon Tunggu... Dosen - Ada beberapa hal yang dapat tersampaikan tentang apa yang dirasa dan dipikirkan

Memerdekakan hati sendiri itu penting!

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Kesepian, Pengakuan Seorang Pendosa yang Payah, dan Hari Tanpa Surya

14 Desember 2020   23:20 Diperbarui: 15 Desember 2020   00:05 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Diam dalam hening. Butuh menepi dalam keadaan hidup. Kejujuran tak lagi termiliki, parahnya itu untuk diri sendiri. Ya, itu pengakuan seorang pendosa yang payah.

Merasa hari-hari yang tersisa hanyalah kehampaan. Lebih seperti duka, bukan, lebih tepatnya sebuah kemalangan. Tak berhasrat untuk hidup. Melemahkan tubuh yang sudah memang kurang berdaya. Mengabaikan mindfulness demi ada dalam hamparan semu. Menjalani hari tanpa surya.

Bisakah menjalani hari tanpa surya?,

Entah. Merelakan diri mengalami syair-syair cuaca di kerumunan luka. Dekapan masa lalu dan aroma masa silam mampu membuat padang ilalang kemunafikan tumbuh di waktu kehidupan.

Kesepian adalah isi dalam chapter di fragmen sekarang ini. Hari tanpa surya, tak ada cahaya matahari yang menyengat tubuh dalam babak demi babak isi wilayah semesta yang ada.

Di jendela Desember ini.
Hari dan dunia yang dicekam ketakutan semakin mendominasi. Tak berhasrat hidup, ingin mati, tapi tak mati.

Ini semua hanya alasan tentang hujan yang tidak seharusnya menjadi hujan. Ini semua hanya tentang kebodohan.

Dan perihal replika bahagia, itu tak lagi ada dalam kolase hati. Saat ini, semua musim bak hamparan dusta dan kepalsuan. Seperti ada di hutan-hutan mati. Di sini, Sumatera pada tengah malam sebelum pukul 00:00. Ah, ini adalah tempat persembunyian waktu yang paling memikat.

Kesepian dan kesendirian beserta rahasia di dalamnya, akan terhempas sementara waktu. Dan esoknya kembali merasakan hari tanpa surya. Ini tentang asa yang diperbolehkan pergi, sebab asa yang dijumpai telah dipadamkan.

Asataga. Ternyata hati sudah lama bertempat tinggal pada kata payah. Tak pernah bercerita apa adanya. Lagi-lagi ini semua tentang luka. Ibarat sayap burung ranggung yang ditiup angin Timur. Berada dalam gantang, seperti perburuan waktu terhadap gelembung dan kupu-kupu yang hilang arah.

Ini bukan ketentuan waktu.
Jujur, ini hikayat airmata.

***
Rantauprapat, 14 Desember 2020
Lusy Mariana Pasaribu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun