Resah gelisah yang dilekatkan. Ia menikmati, bukan, sebenarnya bukan menikmati, tapi ia menenggelamkan hati dan berada dalam ruang pikiran yang hampa.
Ia beranggapan bahwa dirinya adalah seseorang yang sendiri. Mencintai dirinya, ia sulit lalukan. Ia seperti gelembung dan kupu-kupu yang hilang tanpa arah.
Menjadi seseorang yang basah oleh hujan di waktu yang malang. Menanam ketakutan di pekarangan hati. Rela kisah-kisah yang kaku menikahi waktu senggangnya, dirinya tak lagi tenang teduh. Ia perempuan dewasa yang bernama kepayahan.
Dengan sendirinya, ia menciptakan belasungkawa dan konflik. Ini teka-teki zaman dan masih tentang ketidakpastian yang sempurna. Bak gelembung dan kupu-kupu yang sayapnya didorong oleh angin. Adapun sayapnya adalah sayap seperti burung ranggung. Menjelajahi malam dengan kelayuan hingga tidak tumbuh dengan riap.
Kebahagiaan yang tercuri itu adalah miliknya. Bersama ketidakpastian yang sempurna, akhirnya ia menemukan sedu sedan.
Terhadap ketakutan yang ia lekatkan, ia menderita sengsara dan mengalami kesusahan lagi berkeliaran seperti kawanan domba. Melenyapkan harapan yang sesungguhnya harus dimiliki.
Benar. Ia tersandung dan memunahkan hasrat untuk hidup lebih lama. Menyerah dan tak menghidupkan semangat, itu yang ia lakukan.
Kini, ia seseorang yang berada dalam gantang. Inilah balada perempuan yang sudah membiarkan dirinya seperti gelembung dan kupu-kupu tanpa arah dan menjelajahi hari-hari yang mengering dan dilalui tanpa arti.
Malangnya, ia tak ingin mengingat ada Tuhan yang Maha Sempurna yang bisa menolong hidupnya.
***
Rantauprapat, 12 Desember 2020
Lusy Mariana Pasaribu
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI