Saat badai hidup menerpa jiwa perempuan itu, kesukaran menghadang sebab kesendirian dan kekhawatiran melabuhkan kerisauan. Mata perempuan itu lebih memilih basah karena terjaga di kepala malam yang ia miliki sebab dikuasai kisah-kisah yang kaku.
Ia coba tenangkan jiwa, namun kalah pada ketakutan yang menghantui perasaannya. Perempuan itu melayangkan mata dan melihat, ada sebuah gantang yang muncul.
Gantang itu merupakan kejahatan yang sudah ia lakukan. Kejahatan pada dirinya sendiri, ia tidak menerima keberadaan dirinya. Perempuan itu terlalu sering didorong oleh angin ketakutan.
Banyak sumpah serapah yang keluar dari perbendaharaan perempuan itu, ia bahkan ingin mati di pekuburan sepi. Ia gelisah untuk pergi. Mencoba menenteramkan hati, namun kesukaran masih menjadi bagian dari hatinya.
Di pelataran hati, ia sering menumbuhkan benih ilalang. Di waktu senggang, perempuan itu malah mencintai kebodohan. Menciptakan belasungkawa terhadap dirinya sendiri.
Malam ini, ada pencerahan yang ia terima. Perempuan itu pun kembali merindu pesona laut penerimaan dan keteguhan hati hadir dalam jiwanya. Kali ini perempuan itu sadar bahwa kekhawatiran tidak menambah sehasta apa pun dalam hidup dan ketakutan tidak berarti harus selalu dilekatkan dalam hati.
Benar dan jujur. Perempuan yang diterpa kekhawatiran itu, ingin menerjemahkan ketakutan yang tidak selalu harus dilekatkan dalam hati. Perempuan itu akan terus melayangkan mata dan berharap tidak lagi ingin mati di pekuburan sepi.
***
Rantauprapat, 10 Desember 2020
Lusy Mariana Pasaribu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H