Sumatera, sejak awal September 2020. Aku ingin melepaskan diri dari aroma jelaga yang membelenggu hatiku. Ketakutan akan sesuatu yang tak mendasar.
Sebelum ini, di saat tengah malam atau di saat pagi jelang siang, atau di saat siang jelang sore, bahkan di saat sore menuju malam, aku menjamu rasa angkuh yang bertubi-tubi. Angkuh bukan karena mampu, namun angkuh memikirkan ketakutan yang bukan bagian hidupku.
Aku rutin memikirkan ketakutanku, padahal aku tahu ketakutanku itu tidak menambah sehasta apa pun di hidupku. Membuat diriku mati di pekuburan sepi. Membiarkan kepayahan dan ketidakberdayaan jatuh merawat pemikiranku. Â Menjadi perusak yang telah membinasakan carang-carang keyakinan yang aku miliki.
Penuh gelisah, nyatanya masih berdiri sombong seakan mampu. Aku pernah tumbuh dengan penyerahan diri seutuh dan sepenuhnya, namun aku kalah saat aroma jelaga yang menguasai diriku.
Senyuman seorang perempuan dewasa menyelamatkan jiwaku, di saat aku tersandung jatuh di waktu berjalan maju, perempuan itu berlari terburu-buru ke arahku, mengulurkan tangan agar hatiku tidak menjadi tawar dan gemetar akan kejatuhanku.
Ketidakpastian yang sempurna mengambil alih keyakinan hatiku. Ketandusan, penandusan, dan penindasan terperangkap di halaman kurikulum duniaku dengan waktu yang lama.
Kini, saat kesadaran bertamu di kepalaku. Saat aku sungguh ingin melepaskan diri dari aroma jelaga, aku harus mengumpulkan segala kekuatan. Kekuatan untuk memperbaiki diri atas kesalahan dan ketakutan yang menghantui.
Aku, tak ingin lagi terkapar di bawah rindangnya ketidakpastian yang sempurna. Tak mau lunglai langkah asaku di dalam teka-teki zaman yang payah dan merumitkan ini. Aku tak ingin membeku bersama ketakutanku, aku benar-benar ingin melepaskan diri dari aroma jelaga yang membelenggu hatiku.
Sungguh.
***
Rantauprapat, 19 November 2020
Lusy Mariana Pasaribu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H