Seperti burung yang tertangkap dalam jerat, begitulah perempuan itu terjerat pada malam yang malang. Perempuan itu menyerahkan hasratnya ke dalam api yang membakar. Sebenarnya ini kisah kelu yang menggelisahkan perempuan itu.
Terhadap malam dan kisah-kisah yang kaku, dan telah perempuan itu alami. Dia sendiri menjadi pucat dan hanya menyimpan hal itu dalam ingatan. Manaburi duri sehingga resah dan kesakitan.
Perempuan itu melukis wajah malamnya dengan senyuman palsu. Tumpahan air dan rantai kering, dia titipkan pada kisah-kisah gelap yang dia sudah lakukan. Mengangap malam sebagai gelap yang tersembunyi, sehingga dia menyembunyikan banyak rahasia di semesta malamnya.
Padahal di perjalanan waktu perempuan itu, dia sudah layu dan meredup. Perempuan itu membiarkan, perlakuan jahat dan luka menguasai dirinya. Dia rela membukakan pintu bagi siapa yang mengetuk rumahnya, walau sebenarnya dia tahu, ada wajah lusuh yang tidak boleh masuk ke rumahnya.
Perempuan itu kehausan kasih, dia memilih bermain hujan dan petir. Dia rapuh dan pergi ke arah yang salah. Keliru memang. Dia terbuai pada rayuan goda yang berayun-ayun di hatinya. Mata dan daun-daun telinganya basah, merelakan diri sendiri ditindih gerigi-gerigi hasrat yang kosong.
Berbagai kesedihan perempuan itu alami saat malamnya dibiarkan meredup tanpa makna. Ah, biarlah. Itu kata perempuan itu. Perempuan itu sudah lelah dan menyerah.
***
Rantauprapat, 29 September 2020
Lusy Mariana Pasaribu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H