Ini bicara tentang pengertian yang tak dia miliki untuk diri sendiri. Sedang berhenti dari kata yang disebut sebagai penerimaan diri. Mencoba menghindar dari kenyataan yang dia terima, tapi tetap saja dia kalah.
Sudut-sudut kehidupan yang dia jalani terlalu dikuasai kegelisahan bahkan ketakutan. Langit hatinya dibiarkan meredup menjelma pada kesunyian.
Perasaan yang semestinya bahagia karena kabar bahagia yang dia dengar, bukan bahagia yang dia rasakan. Karena yang terlihat dari kabar bahagia itu adalah perasaan yang dicekam ketakutan.
Dia sendiri tahu, esok atau lusa, dia tidak akan pernah mengalami seutuhnya kabar bahagia yang dia dengar. Nyaris, dia berpikir bahwa Tuhan yang adil, Tuhan yang dia percaya, tidak memberi keadilan tentang jalan hidupnya.
Yang bisa dia tulis, saat hujan air mata jatuh karena kesendiriannya, adalah sajak kepatahan. Sebab sajaknya adalah kebebasan baginya. Bebas menjatuhkan warna dan aroma yang dia inginkan.
Dia itu perempuan yang ingin merasakan apa yang perempuan lain rasakan. Dia perempuan yang ingin menjadikan hidupnya indah. Yang terjadi adalah lautan kenyataan membakar rasa penerimaannya  bahkan kesadarannya.
Dan belakangan, dia menjadi perempuan yang dicekam ketakutan.
***
12.09.2020
Lusy Mariana Pasaribu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H