Diantara celah dinding anyaman bambu, aku terpaku pilu
Malam kian berlalu menebar senyap diantara gundah yang mendekap
Remuk hancurnya hatiku atas semua laku culasmu,
Aaaaaaaaaaaaa hatiku menjerit kelu
Separuh dari hidupku telah pasrahkan padamu,
Namun kejam , tanpa perasaan jiwaku kau rajam
Bagai merangkak aku memunguti serak semangatku,Â
Menekan perasaanku, mengalah agar tiada terlihat kesah
Lagi dan lagi kau berulah,Â
mengapa aku harus kau perlakukan bagai sampah?
Di mana...?Â
Dimana cinta yang kau ucap lewat sumpah diantara altar yang berdiri megah?
Bintang berkelip seolah mencibir diri ini yang kian menggigil
Mengapa kekunang tak hadir?....
Aku rindu kelip sayapmu memelukku kala kalbuku merintih pilu
Sejenak dalam sunyi ini lamat ku dengar alirnya nyanyi sang air
Menabuh batu kerikil di halaman depan gubuk nan dekil
Ratap tangis buah hatiku terngiang
Kala surat sekolah ia bawa pulang
Tagihan  bulanan tertera lantang
Rengek  sibungsu inginkan mainan
Dering listrik saatnya bayaran
Keringnya beras didandang
Semua mengejarku  bak seorang pesakitan
Apakah aku kurang gigih untuk berjuang???
Sementara kau hanya berlenggang?
Andai bisa ku jual saja rusuknya tulang
Andai saja aku menemukan pembeli ginjal,Â
Maka..., satu ginjal itupun akan ku tanggal
Agar  lunas tugasku menjadi ibu
Meski putra putriku belum hendak faham itu
Kini di senjanya umurku sudah,Â
Aku menyerah
Aku telah lelah
Aku mengukir kisah
Berharap tangisku tak pecah
Melepas resah.
Dalam sadarku,
Aku pasrah....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H