Mohon tunggu...
Lusy Dwiyanti
Lusy Dwiyanti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya pribadi yang memiliki ketertarikan mendalam terhadap hal-hal baru dan perkembangan politik

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Studi Kasus Konflik Dalam Pembangunan: KONFLIK AGRARIA DI PAPUA

26 Januari 2025   21:47 Diperbarui: 26 Januari 2025   21:47 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Freeport Indonesia (Sumber: Liputan6)

Pembangunan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan menyediakan infrastruktur, membuka peluang kerja, dan meningkatkan kualitas hidup. Namun, pembangunan sering kali membawa dampak negatif, terutama di wilayah yang memiliki kekayaan sumber daya alam yang besar. Konflik agraria di Papua menjadi salah satu masalah utama yang menghambat pembangunan di wilayah tersebut, terutama dalam konteks kesejahteraan masyarakat adat.

Akar permasalahannya berawal dari pengabaian hak ulayat masyarakat adat yang sudah ada sejak lama, di mana tanah yang dikelola secara turun-temurun tidak diakui oleh sistem hukum formal. Hal ini menimbulkan tumpang tindih kepemilikan lahan, yang pada akhirnya memicu konflik antara masyarakat adat dengan pihak luar, seperti perusahaan yang melakukan eksploitasi sumber daya alam. Selain itu, eksploitasi besar-besaran terhadap kekayaan alam Papua, yang meliputi mineral, minyak, dan gas, dilakukan tanpa memperhatikan dampaknya terhadap kehidupan masyarakat adat (Tirto.id, 2022).

Kerusakan lingkungan yang ditimbulkan, seperti deforestasi dan pencemaran air turut memperburuk kondisi sosial ekonomi masyarakat adat yang bergantung pada alam. Tidak hanya itu, pembangunan infrastruktur besar-besaran yang dilaksanakan tanpa konsultasi dengan masyarakat adat juga berkontribusi pada ketidakadilan sosial. Proyek-proyek seperti jalan, pelabuhan, dan bendungan sering kali dilaksanakan dengan pembebasan lahan yang tidak adil, yang menambah ketegangan sosial di kalangan masyarakat lokal.

Di sisi lain, tata kelola pemerintahan yang lemah, ditambah dengan ketidakjelasan regulasi terkait pengelolaan sumber daya alam dan perlindungan hak-hak masyarakat adat juga semakin memperburuk situasi ini. Proyek-proyek infrastruktur besar, seperti pembangunan jalan, pelabuhan, dan bendungan, sering kali dilaksanakan tanpa melibatkan masyarakat adat dalam proses perencanaan atau konsultasi. Proses pembebasan lahan yang tidak adil sering kali menyebabkan kerugian besar bagi masyarakat adat. Kompensasi yang diberikan juga sangat minim dam bahkan tidak sesuai dengan nilai ekonomi tanah yang dikuasai oleh masyarakat adat. Ketidakhadiran masyarakat adat dalam pengambilan keputusan mengenai pembangunan yang berlangsung di wilayah mereka memperburuk ketegangan sosial dan menciptakan rasa ketidakadilan diantara keduanya.

Pembangunan yang seharusnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, justru sering kali menambah ketimpangan sosial. Ketika proyek-proyek infrastruktur diimplementasikan tanpa memperhatikan kepentingan dan hak masyarakat adat, maka pembangunan tersebut sering kali tidak membawa manfaat bagi masyarakat. Bahkan, dalam banyak kasus, masyarakat adat dipaksa untuk meninggalkan tanah mereka tanpa mendapatkan manfaat yang layak. Ketimpangan ini tentunya memicu ketegangan sosial dan konflik yang berlangsung lama, yang berdampak negatif terhadap keharmonisan sosial di wilayah tersebut.

Salah satu faktor yang memperburuk konflik agraria di Papua adalah lemahnya tata kelola pemerintahan. Ketidakjelasan regulasi mengenai pengelolaan sumber daya alam dan perlindungan hak-hak masyarakat adat membuka celah bagi terjadinya praktik eksploitasi yang tidak terkendali. Pemerintah yang seharusnya menjadi pelindung hak-hak masyarakat adat sering kali tidak memiliki kebijakan yang tegas dalam melindungi hak ulayat. Hal ini menyebabkan terjadinya tindakan sewenang-wenang dari perusahaan atau pihak lain yang merugikan masyarakat adat. Ketidakjelasan regulasi ini juga memperburuk ketimpangan, karena masyarakat adat kesulitan untuk mendapatkan akses ke keadilan dan perlindungan hukum.

Ketegangan sosial yang terjadi akibat konflik agraria ini sering kali berujung pada protes, demonstrasi, dan bahkan bentrokan antara masyarakat adat dengan aparat keamanan atau perusahaan. Tak jarang pula terjadi tindakan kekerasan yang sehingga memperburuk situasi dan memperpanjang ketegangan sosial. Konflik ini tidak hanya menciptakan ketidakadilan bagi masyarakat adat, tetapi juga menghambat kemajuan pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif di Papua. Ketidakadilan sosial yang muncul akibat ketidakseimbangan antara pembangunan dan hak-hak masyarakat adat merupakan tantangan besar yang harus diatasi untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan dan berkeadilan.

Dampak dari konflik agraria ini tentunya sangat luas yakni mencakup berbagai aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan. Dari sisi sosial, ketegangan antara masyarakat adat dan pihak lain sering kali berujung pada kekerasan dan perpecahan sosial. Secara ekonomi, kehilangan akses terhadap tanah adat memaksa masyarakat adat untuk kehilangan mata pencaharian mereka, yang menyebabkan peningkatan angka kemiskinan dan ketidakmampuan mereka untuk mengakses sumber daya yang mereka perlukan untuk bertahan hidup. Sementara itu, dari sisi lingkungan, degradasi ekosistem yang ditimbulkan oleh aktivitas industri pertambangan merusak keberlanjutan sumber daya alam yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat adat.

Salah satu contoh yang paling mencolok dari konflik agraria yang terjadi di Papua adalah sengketa yang melibatkan masyarakat adat Amungme dan Kamoro dengan PT Freeport Indonesia. Dilansir oleh BBC News Indonesia, dampak eksploitasi pertambangan Pt Freeport terhadap manusia dan alam di Papua telah berlangsung selama hampir 50 tahun. Perusahaan ini telah mengeksploitasi tambang tembaga dan emas di Papua selama beberapa dekade. Pada tahun 2023, para pekerja PT Freeport melakukan mogok kerja selama lima hari sebagai Bentuk protes dan perlawan kepada Perusahaan, sehingga terjadilah negosiasi paruh waktu untuk mengatasi masalah yang terjadi (Kompasiana, 2023).  Selain itu, proyek-proyek lain, seperti perkebunan sawit di Merauke, juga telah menimbulkan ancaman terhadap keberlanjutan hutan adat dan mata pencaharian masyarakat lokal. Kedua kasus ini menggambarkan bagaimana pembangunan yang tidak inklusif dapat menciptakan ketidakadilan dan ketimpangan yang merugikan masyarakat adat.

Untuk mengatasi konflik agraria di Papua, diperlukan pendekatan pembangunan yang komprehensif dan inklusif. Pemerintah harus mengakui dan melindungi hak ulayat masyarakat adat melalui regulasi yang jelas dan tegas. Selain itu, perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Papua harus mematuhi prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan yang memperhatikan dampak sosial dan lingkungan dari setiap kegiatan mereka. Partisipasi masyarakat adat dalam proses pengambilan keputusan juga harus dijadikan prioritas, agar kebijakan yang diambil dapat mencerminkan kebutuhan dan aspirasi mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun