Mohon tunggu...
lusijani misbah
lusijani misbah Mohon Tunggu... guru dan terapis thibbun nabawi -

Saya guru, hobi menulis puisi. saya ingin mencoba hal-hal yang baru dan menantang terutama dalam tulis menulis.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[KC] DERING TELPON CINTAKU

3 Oktober 2015   16:59 Diperbarui: 3 Oktober 2015   16:59 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

NO URUT 52

 [caption caption="Telponku- dok.pri"][/caption]

Tak seperti biasanya, di pagi itu aku tak ingin apa-apa. Rasa yang tak pernah ada, rasa yang tak pernah datang sebelumnya. Entah lah, ini rasa apa. Ada rasa khawatir, rasa takut, rasa sedih, rasa rindu, rasa kangen, semuanya bercampur saat itu. Aku bertanya sendiri, “Ada apa denganku?” Tak ingin pergi. Tak ingin apa pun. Makan pun tak mau. 

 

***

 

Teringat akan katamu saat itu, “Bolehkah berkenalan dengan keluargamu?” . “Datang saja. Keluargaku akan menerima siapa saja yang mempunyai niat baik untuk bersilaturahim.” Dan engkaupun datang untuk kali pertama ke rumahku. Ini benar-benar kali pertama. Seorang teman lelaki datang ke rumah dengan niat silaturahim pada keluargaku. Semua temanku tahu, aku orang yang tertutup, bahkan ada yang bilang aku judes. Sulit diajak tersenyum, susah diajak canda, apalagi yang canda seorang lelaki. Ya. Tidak ada dalam kamus hidupku untuk bersenda gurau dengan lelaki yang bukan muhrim. Berbicara cukup seperlunya saja. Cukup yang pentingnya saja. Pernah ada yang mengajakku bicara agak serius tentang pernikahan. “Ah, apaan kakak ini.” kataku sambil ngeloyor pergi. Nggak penting. 

 

Beberapa teman lelakiku di kampus memiliki perhatian khusus padaku. Aku rasakan itu. Ada yang hanya memperhatikanku saja, ada juga yang menyatakan cintanya, sampai-sampai saat aku berulangtahun, dia mengirim kartu ucapan selamat. Tidak. Tidak ada kata pacaran ! Lalu sobatku bertanya, “Kamu ini kenapa sih? Dingin! Dasar si tiis!”. “Biarin”. 

 

Ketika kurasa ada yang memberi perhatian lebih padaku, sempat ada rasa GR alias gede rasa. tapi cepat-cepat kutepis rasa itu. Teman-teman memuji dia karena tampan, sholeh, perhatian pula. Tapi ku tak akan larut disitu, kumunculkan pertanyaan, “Apa kekurangan dalam dirinya? apa sifat-sifat buruknya?” lalu ku cari jawabnya. Dan itu yang jadi pertanyaan untuk diriku sendiri. Pertanyaan instrospeksi.  “Apakah kekurangan itu ada padaku? apakah sifat-sifat buruk itu juga ada padaku?” Aku harus memperbaiki diri. Bukankah jika menginginkan suami seperti Sayyidina Ali rodliyallohu ‘anhu, kita harus jadi wanita seperti Siti Fathimah Az Zahra?

 

***

 

Aku masih di sini. Menunggu dering telpon berbunyi. Dan saat terdengar dering itu, seketika ku sambar gagang telpon dan ku berteriak, “Pak !”. Dari sana ku dengar “Bu !” kami memanggil bersamaan. Hati seakan tahu bahwa dia yang akan nelpon. “Ibu, Ibu sehat?” “Sehat Pak. Bapak sehat?” aku balik tanya. “Bapak sangat mengkhawatirkan Ibu. Bapak ingat terus ke Ibu.” “Ya, sama. Ibu juga sehari ini ingat terus pada Bapak, khawatir jangan-jangan Bapak sakit.” “Bapak sehat bu. Alhamdulillaah. Hati ini masih ada rasa khawatir, ada apa ya? Coba ditanya, apa di keluarga kita ada yang sakit. Tapi, syukur lah, kalo Ibu tak apa-apa. Nanti telpon lagi kalo ada kabar dari keluarga.” “Ya, Pak.” Kami bersama bekerja dalam sebuah lembaga sekolah, sehingga kami memanggil satu sama lain seperti anak-anak memanggil kami di sekolah. Bapak dan Ibu.

 

Hhhh..... Tenang rasanya setelah mendengar suaranya. Ketenangan dan rasa bahagia yang pertama kali ku rasa. Dan mantaplah dalam hati, ini jawaban dari Alloh akan do’a-do’a yang kupajatkan, do’a mohon agar ditunjukkan apakah dia yang akan jadi pendamping hidupku esok dan selamanya. 

Kalau kamu bertanya, “Sesederhana itukah kesimpulan yang kamu ambil, untuk meyakinkan diri bahwa itu adalah jodohmu?” aku jawab, “Ya."

 

***

 

Alhamdulillah, 15 tahun telah berlalu. Ku arungi bahtera rumah tangga bersamanya, beserta seorang putri dan dua orang putra buah cinta kami berdua. Cinta yang tumbuh bukan dari sekumpulan rayuan gombal, bukan dari serangkaian puisi cinta, bukan dari rangkaian-rangkaian bunga yang dikirimkan. Cinta kami tumbuh dari sekumpulan do’a yang terus kami panjatkan dan memohon pada yang Maha Rahman Rahim, untuk kebaikan dan keberkahan kini dan nanti. Cinta kami tumbuh dari perhatian dan kasih sayang, meski tak bertabur kata-kata cinta.

 

Suamiku, Cintaku padamu karena Alloh. *   

 

NB : untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community 

Silahkan bergabung dengan Grup FB Fiksiana Community

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun