EKSISTENSIALISME TEISTIK: KIEKEGAARDDAN MARCEL
Lusi Anggraini
Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang
lusianggraini2006@gmail.com
AbstrakÂ
     Eksistensialisme adalah filsafat yang memandang segala sesuatu gejala bertitikt olak dari eksistensinya. Eksistensi sendiri dapat diartikan sebagai suatu bentukk eberadaan. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang mendalamt entang eksistensialisme teistik: Kiekegaarddan Marcel. Penelitian ini dilakukan denganj enis penelitian kualitatif dengan model pendekatan deskriptif. Hasil dari penelitian ini
didapati bahwa Kierkegaard yang mewakili eksistensialis teistik menempatkan kehidupan
duniawi sebagai kehidupan etis, yaitu pemilikan sadar dari diri yang bebas. Meskipun
demikian, dalam eksiastensialisme Kierkegaard, terdapat konflik antara tahap estetika dan
tahap religius, yaitu kekuatan dan kegelisahan dalam realitas etis diri manusia dan untuk
mengatasinya manusia melompat ke dalam panggilan kewajiban tertinggi, ke dalam diri
Tuhan, melalui iman. Individualitas Kierkegaard terserap ke dalam diri Kristus.
 Kata kunci : Eksistensialisme, teistik, Kiekegaarddan Marcel.
PENDAHULUAN
     Sehubungan dengan itu, terjadilah kecenderungan untuk memberikan tempat yang
setinggi-tingginya kepada kemampuan rasional sebagai alat untuk memahami kenyataan.
Sesuatu yang dinyatakan sebagai keunggulan harus dapat di rumuskan sebagai hasil
pemikiran yang pasti. 1
 Di samping itu, suatu pemikiran tentang kenyataan haruslah
dinyatakan dalam rumus-rumus yang umum. Apa yang 'universal itulah yang benar, bukan
yang 'partikular'. ialam Either/Or itu S.K. untuk pertama kalinya mengajak kita untuk
menjalani eksistensi kita sebagai manusia, masing-masing dengan subjektivitasnya. Bagi S.K.
manusia yang kongkret dan nyata adalah yang individual dan subjektif, bukan apa yang
dipukul rata dan objektif. Pembahasan lebih lanjut serta mendalam mengenai Eksistensialisme Teistik: Kiekegaarddan Marcel akan di bahas berikut ini. ii Eropa Barat
pada abad ke 19 merupakan abad kejayaan ilmu pengetahuan.2
TRAJEKTORI KIEKEGAARDDAN MARCEL
      Soren Aabye Kierkegaard adalah nama lengkap filsuf ienmark yang kemudian terkenal
dengan singkatan S.K. Suatu hal yang khas pada filsuf ini ialah kegemarannya untuk menulis
dengan berbagai nama samaran: suatu hal yang tidak lazim kita jumpai di antara tokoh-tokoh
filsafat. ii antara nama-nama samaran itu, yang paling digemarinya adalah Johannes
Climacus (Johannes sang Pendaki) dan Johannes de Silentio (Johannes dari Kesunyian).
Apakah yang sebenarnya menjadi sebab dari penggunaan sejumlah nama samaran itu tidaklah
jelas dapat dipastikan. Na mun tidak tertutup kemungkinan bahwa S.K. memang mengala- mi
suatu krisis perihal identitas dirinya sebagai anggota keluarga Kierkegaard. Sehubungan
dengan ini, sebagaimana biasanya pembahasan mengenai S.K. dan filsafatnya, demi
pengertian yang lebih mendalam tentang filsafatnya, maka perlu kita dahulukan pembicaraan
mengenai latar belakang kehidupan keluarganya.
 Anamnesis mengenai diri S.K. ini tidak sekadar untuk menjadi- kan dia semata-mata
sebagai suatu kasus psikologi, melainkan dikarenakan pula oleh kenyataan bahwa di
kemudian hari buah pikirannya menunjukkan dengan gamblang betapa besarnya pen garuh
suasana kehidupan keluarganya itu. S.K. dilahirkan pada tanggal 5 Mei 1813 dan meninggal
pada tanggal 11 November 1855.
 Kedua peristiwa ini dan hampir semua peristiwa penting yang terjadi dalam hidup nya
terjadi di Kopenhagen. Berbeda dengan Nietzsche yang pindah-pindah dari satu kota ke kota
lain, dari satu negara ke negara lainnya, Kierkegaard dalam usia dewasa hanyalah berpindah-
pindah kamar sewaan di Kopenhagen. Hal ini tentunya menjadi sebab pula mengapa S.K.
yang terutama menulis dalam bahasa negerinya sendiri tidak begitu segera dikenal oleh orang-
orang yang berada di luar batas negerinya. Hidupnya yang berakhir ketika menjelang usia 43
tahun itu tidak memungkinkan ia mengalami masa kejayaannya sebagai filsuf.3
 S.K. dilahirkan sebagai anak bungsu dalam keluarga tujuh bersaudara. Ketika ia lahir,
ayahnya Michael l'edersen Kierkegaard sudah berusia 56 tahun, sedangkan ibunya Anne LundÂ
45 tahun. Pada waktu itu ayahnya sudah sedemikian beruntung dalam usaha dagangnya,
sehingga ketika S.K. lahir, keluarganya tergolong kalangan berada di masyarakat Kopenha-
gen. Ayahnya mempunyai lebih banyak waktu untuk mencurahkan perhatian pada pendidikan
anak-anaknya. S.K. yang bungsu dan cerdas merupakan anak kesayangannya. Ia sering
membicarakan hal-hal dengan S.K. yang sebenarnya masih terlalu muda untuk mengerti
masalah-masalahnya. Pembicaraan ini antara lain meliputi masalah-masalah yang
berhubungan dengan religi. ii samping itu, ayahnya yang sudah tua pun sering mengajak
S.K. bermain, sampai pada suatu hari ia jatuh dari pohon dan mengalami cedera di punggunya
sehingga kemudian ia harus hidup dengan cacat jasmani yang juga berpengaruh terhadap
kehidupan seterusnya.4
 Michael Pedersen Kierkegaard (M.K.) sangat kuat hasratnya untuk mendidik S.K.
sebagai persiapan untuk memasuki sekolah theologi. Mungkin hal ini berhubungan erat
dengan salah satu peristiwa yang berakhir traumatis terhadap ayahnya sendiri. ialam sejarah
hidup ayahnya telah mengalami dua peristiwa traumatis yang sungguh-sungguh membekas
selama hidupnya. Peristiwa pertama terjadi ketika M.K. masih kanak-kanak dan hidup dalam
kemelaratan yang pahit. Pada suatu hari M.K. menggembala domba di padang tandus di
Jutland. Menghayati kekesalan, kesepian, dan kemelaratannya, maka M.K. tiba-tiba
menengadah ke langit dan menyatakan amarahnya terhadap Tuhan.
 Peristiwa yang kedua berhubungan dengan perkawinan nya dengan Anne Lund,
istrinya yang kedua, yang kemudian menurunkan ketujuh anaknya. Anne Lund yang bekerja
sebagai pembantu rumah-tangga pada keluarga Kierkegaard itu diper- istrinya sebelum selesai
masa berkabung sehubungan dengan meninggal istrinya yang pertama. Akan tetapi lebih dari
itu karena penyelewengan yang dilakukannya, maka anak pertama mereka lahir hanya lima
bulan setelah perkawinannya dengan Anne Lund.5
 Kedua peristiwa ini jelas tidak bisa dilupakan oleh M.K. selama hidupnya sehingga ia
tidak pernah mampu memaafkan dirinya sendiri akibat perbuatannya itu. iua peristiwa ini
yang akhirnya diceritakan pada S.K. ketika ia mencapai usia dewasa, juga telah meninggalkan
bekas yang sangat mendalam pada S.K. dan hal ini ditonjolkan oleh S.K. sebagai suatu
peristiwa dalam hidupnya yang diibaratkan sebagai gempa yang dahsyat.
 Melankoli yang diderita oleh ayahnya akibat kedua trauma ini kian lama kian
berpengaruh terhadap diri S.K. ii samping itu, bagi S.K. sendiri serentetan kematian anggota keluarganya juga merupakan sebab kemurungan yang mendalam pada dir- inya. iua
kakaknya, seorang lai-laki dan seorang perempuan, meninggal ketika S.K. masih kanak-
kanak. Kemudian menyusul kematian kakak-kakaknya yang lain serta ibunya: kakak
perempuan (September 1832); kakak laki-laki (September 1833); sedangkan ibunya
meninggal (Juli 1834), dan dalam tahun itu juga kakak perempuan yang paling disayanginya
meninggal pula (iesember). ialam dua tahun berturut-turut S.K. menyaksikan anggota-
anggota keluarganya itu dimakamkan.
 iari tujuh bersaudara, tinggal dua saja, yaitu kakaknya, Peter Christian dan S.K.
sendiri. Peristiwa-peristiwa kemurungan yang menimpa keluarga- nya ini membuat S.K.
berpikir mengapa Tuhan sedemikian mur- ka terhadap keluarganya. Mengapa kematian terjadi
demikian beruntun? Sejak itu pada S.K. timbul suatu prasangka yang kuat bahwa kutukan
Tuhan telah jatuh pada keluarganya.6