Mohon tunggu...
Syasha Lusiana
Syasha Lusiana Mohon Tunggu... Penulis - Penulis buku parenting CAHAYA DUNIA, Konselor, Motivator, Teacher

Pembelajar sepanjang hayat agar selalu memberi manfaat untuk masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Interaksi Anak Baru Menikah dengan Orangtua

30 Desember 2023   12:00 Diperbarui: 30 Desember 2023   12:05 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kebahagiaan orangtua adalah saat melihat anak di puncak kehidupannya yaitu menikah, membina rumah tangga dan menjalani kehidupannya sendiri Bersama pasangannya.

Seperti halnya sebuah perubahan, maka anak pun akan memasuki tahap perubahan dalam setiap fase kehidupannya.

Dimulai saat dia menapaki usia bayi kemudian masuk ke awal balita, awal kanak-kanak sampai masuk ke fase remaja awal, dewasa awal sampai dewasa akhir menuju pernikahan.

Dalam setiap fase tersebut banyak penyesuaian yang harus dihadapi anak, dimulai dari kondisi fisiogisnya sampai ke kondisi psikologisnya.  Selama perubahan fase tersebut tentu orangtua tidak dari pemantauan dan bimbingan.  Karena terkadang anak masih kesulitan dalam membedakan mana yang baik dan yang buruk, mana yang benar dan yang salah.  Orangtua hadir seolah-olah menjadi peta atau lampu lalulintas.

Menurut teori perkembangan keluarga, Ketika seorang anak menempuh kehidupan baru dalam pernikahan maka dia sedang berada pada kondiri pernikahan awal yaitu saat mereka masih berdua tanpa anak.

Perasaan orangtua saat melepas mereka tentu berkecamuk dengan berbagai rasa, apabila anaknya Perempuan orangtua akan berpikir sudahkah mereka mendidik anak perempuannya menjadi istri pendamping suami yang baik.  Sudahkah mereka mendidik anak perempuannya menjadi istri yang mampu menjalankan perannya sebagai istri secara maksimal.

Bila anaknya laki-laki orangtua akan berpikir sudahkah dia mempersiapkan anak lelakinya anak lelaki yang mampu menyenangkan istri, menjaga perasaan istri dan mampu menjadi pelindung bagi istrinya.

Perasaan yang berkecamuk ini walaupun diwarnai dengan kebahagiaan tetap menyisakan kecemasan yang membuat orangtua di awal-awal menerima pernikahan anaknya harus banyak menyesuaikan diri juga, termasuk dalam menerima menantu baru di Tengah-tengah keluarga mereka.

Anak dengan segala penyesuaian dalam pernikahannya juga membutuhkan penyesuaian, penyesuaian dengan pasangan, penyesuaian tugas dan fungsi dengan peran baru, penyesuaian sikap kepada kedua orang tua.

Ada beberapa penyesuaian sikap kepada orangtua untuk pasangan-pasangan yang baru menikah terhadap orangtuanya walaupun ini belum dilakukan penelitian lebih khusus terkait hal ini.

Pertama, ada anak yang setelah menikah menjadi jauh lebih santun dan sayang terhadap kedua orangtuanya.  Dia mengajak untuk sama-sama mencintai orangtua, menjaga perasaan orangtua dan memberi bantuan fisik dan psikis kepada kedua orangtua.

Namun ada juga sikap yang ke dua, yang justru lebih arogan, keras dan kasar kepada ke dua orangtua, arogansi ini seolah ingin memperlihatkan kepada pasangannya bahwa orangtua ada dalam kendali dirinya. Disamping itu dia merasa bahwa apapun sikapnya. kali ini orangtua tidak akan memarahinya karena dia sudah punya beckingan yang akan membela dirinya sebagai pasangan.

Sikap yang selanjutnya adalah sikap acuh dan abai pada sebagian namun perhatian pada sebagian yang lainnya.  Pernikahan seolah ajang kebebasan terlepas dari orangtua, bisa menentukan segala sesuatunya sendiri dan melakukan semuanya seenaknya sendiri.

Sebuah hal yang dapat ditoleransi apabila ini muncul di awal-awal pernikahan karena masih proses adaptasi menerima kehidupan barunya.  Namun apabila sikap-sikap ini dibiarkan berlarut bukan tidak mungkin akan meledak sewaktu-waktu dan menimbulkan masalah tersendiri dalam relasi hubungan orang tua-anak, orangtua-menantu, istilah kata "Bagai duri dalam sekam".

Disinilah penting bagi kedua belah melalui masa transisi dengan baik untuk kemudian mencari pola yang lebih nyaman untuk kedua belah pihak agar pernikahan itu terasa lebih indah dan penuh berkah.

Walaupun memang benar bahwa pernikahan tidak selalu luput dari permasalahan, namun minimal hubungan dengan orangtua tidak memburuk karenanya. 

Setiap anak punya masa lalu, setiap orangtua punya kesalahan dalam pola asuh.  Sungkeman dalam tradisi pernikahan bukan sekedar sebuah ritual namun sesungguhnya masa satu sama lain saling memaafkan, meluruhkan luka yang pernah dibuat di kedua belah pihak.

Dalam kehidupan baru ini masing-masing harus meninggalkan masa lalu dan menjejaki masa kini dengan interaksi yang lebih baik.   Menciptakan hubungan yang lebih baik ke depannya, karena anak dan orangtua, mertua dan menantu akan terus terhubung selamanya dalam bingkai keluarga yang semakin membesar dengan lahirnya generasi penerus harapan.

Anak yang mempunyai orangtua tambahan yang bernama "mertua",orangtua bertambah saudara dan partner yang bernama "besan, ini adalah sebuah anugrah Allah selalu terjadi dalam perputaran kehidupan dan senantiasa disambut dengan penuh rasa Syukur.

Sedangkan dari sisi orangtua, suatu hal yang tidak bisa dipungkiri bagi orangtua bahwa momen sakral seorang anak dalam jenjang pernikahan baik sebelum, saat maupun sesudahnya senantiasa menebarkan aura perasaan tersendiri terutama bagi seorang Ibu maupun seorang Ayah.

Ayah dengan segala wibawanya dia berusaha tegar tidak menunjukkan perasaannya walau dibalik itu semua seorang ayah terutama yang paling sedih hatinya saat harus menerima kenyataan anaknya memasuki jenjang pernikahan. 

Anak Perempuan yang dibawa pergi suaminya, anak lelaki yang harus menghidupi anak orang dan bertanggungjawab untuk tidak mentelantarkannya ada dalam pemikiran yang selalu berkelebatan antara kegembiraan dan kekhawatiran.

Sehingga ketika orangtua dihadapkan pada kenyataan anaknya baru menikah kemudian berubah sikap, penerimaan orangtua pun beragam.  Ada yang menjadi murung, sedih menerima sikap anaknya, merasa diabaikan, merasa sudah tidak didengar, merasa sudah tidak punya wibawa.

Dan tentu, setua apapun anak dia tidak akan mungkin melebihi tuanya orangtua, di mata orangtua anak adalah tetap anaknya yang dipandang sebagai anak-anak.  Orangtua semakin menua, ingatan, sikap dan prilakunya kembali seperti kanak-kanak, hal yang perlu disikapi oleh anak dengan sabar, dan menjaga perasaan mereka adalah sebuah kemestian.

Cikbar, 301223

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun