Namun ada juga sikap yang ke dua, yang justru lebih arogan, keras dan kasar kepada ke dua orangtua, arogansi ini seolah ingin memperlihatkan kepada pasangannya bahwa orangtua ada dalam kendali dirinya. Disamping itu dia merasa bahwa apapun sikapnya. kali ini orangtua tidak akan memarahinya karena dia sudah punya beckingan yang akan membela dirinya sebagai pasangan.
Sikap yang selanjutnya adalah sikap acuh dan abai pada sebagian namun perhatian pada sebagian yang lainnya. Â Pernikahan seolah ajang kebebasan terlepas dari orangtua, bisa menentukan segala sesuatunya sendiri dan melakukan semuanya seenaknya sendiri.
Sebuah hal yang dapat ditoleransi apabila ini muncul di awal-awal pernikahan karena masih proses adaptasi menerima kehidupan barunya. Â Namun apabila sikap-sikap ini dibiarkan berlarut bukan tidak mungkin akan meledak sewaktu-waktu dan menimbulkan masalah tersendiri dalam relasi hubungan orang tua-anak, orangtua-menantu, istilah kata "Bagai duri dalam sekam".
Disinilah penting bagi kedua belah melalui masa transisi dengan baik untuk kemudian mencari pola yang lebih nyaman untuk kedua belah pihak agar pernikahan itu terasa lebih indah dan penuh berkah.
Walaupun memang benar bahwa pernikahan tidak selalu luput dari permasalahan, namun minimal hubungan dengan orangtua tidak memburuk karenanya.Â
Setiap anak punya masa lalu, setiap orangtua punya kesalahan dalam pola asuh. Â Sungkeman dalam tradisi pernikahan bukan sekedar sebuah ritual namun sesungguhnya masa satu sama lain saling memaafkan, meluruhkan luka yang pernah dibuat di kedua belah pihak.
Dalam kehidupan baru ini masing-masing harus meninggalkan masa lalu dan menjejaki masa kini dengan interaksi yang lebih baik. Â Menciptakan hubungan yang lebih baik ke depannya, karena anak dan orangtua, mertua dan menantu akan terus terhubung selamanya dalam bingkai keluarga yang semakin membesar dengan lahirnya generasi penerus harapan.
Anak yang mempunyai orangtua tambahan yang bernama "mertua",orangtua bertambah saudara dan partner yang bernama "besan, ini adalah sebuah anugrah Allah selalu terjadi dalam perputaran kehidupan dan senantiasa disambut dengan penuh rasa Syukur.
Sedangkan dari sisi orangtua, suatu hal yang tidak bisa dipungkiri bagi orangtua bahwa momen sakral seorang anak dalam jenjang pernikahan baik sebelum, saat maupun sesudahnya senantiasa menebarkan aura perasaan tersendiri terutama bagi seorang Ibu maupun seorang Ayah.
Ayah dengan segala wibawanya dia berusaha tegar tidak menunjukkan perasaannya walau dibalik itu semua seorang ayah terutama yang paling sedih hatinya saat harus menerima kenyataan anaknya memasuki jenjang pernikahan.Â
Anak Perempuan yang dibawa pergi suaminya, anak lelaki yang harus menghidupi anak orang dan bertanggungjawab untuk tidak mentelantarkannya ada dalam pemikiran yang selalu berkelebatan antara kegembiraan dan kekhawatiran.