Ke dua, saling menjaga Ruhiyah
Ini sangat penting dilakukan oleh kedua belah pihak agar memaknai sakit ini sebagai berkah dan anugrah bukti tanda kasih sayang Allah kepada kita “ Dan sungguh akan kami uji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan” (QS.2:155) dengan melenyapkan sebagiannya seperti sakit berkepanjangan, kematian orang-orang terdekat (tafsir ibnu katsir). Sudah jelas dalam ayat tersebut hendaknya setiap orang bersabar, baik si sakit maupun yang merawat si sakit, tidak berkeluh kesah apalagi berputus asa, karena janji Allah sudah pasti Allah akan beri pahala bagi yang bersabar dan allah berikan siksa bagi mereka yang berputus asa. Inilah pentingnya menjaga ruhiyah dan meningkatkan kualitas kedekatan kepada Allah SWT. Menghidupkan suasana ibadah yang lebih khusyu di rumah, sholat berjamaah, tilawah qur’an, menghidupkan qiyamul lail, dan ibadah-ibadah lain yang mampu membangun dan menjaga ruhiyah. Hidup tak lagi lama….mengekalkan pernikahan sampai ke ujung perjalanan hidup adalah sebuah keniscayaan.
Ketiga, Mengokohkan Keluarga
Bila pasangan sakit, dia juga adalah ayah atau ibu dari anak-anak, dukungan dari semua keluarga, keluarga besar maupun kaluarga inti akan menjadi obat tersendiri bagi yang sakit. Keluarga, terutama keluarga inti dalam hal ini anak-anak perlu dipahamkan akan kondisi yang terjadi pada ayah atau ibu mereka, buat mereka memaklumi bahkan tetap menghargai sebagaimana saat kondisi mereka masih sehat. Perhatian, ketulusan dan kasih sayang akan sangat mensupport kejiwaanya, dan akan membantu si sakit untuk tidak meratapi sakitnya, bahkan dia akan tetap semangat dan tidak kehilangan jati dirinya.
Terutama ayah yang menjadi tulang punggung keluarga, pada saat sakit merasa tidak berdaya bahkan mungkin bertambah kesedihannya karena tanggungjawab menafkahi keluarga berpindah kepada sang ibu, harga diri yang jatuh, perasaan bersalah pada istri, perasaan tidak akan lagi dihargai anak istri, biasanya sangat memicu emosi sang ayah, disinilah butuh kebijakan, kebesaran hati pasangan bahwa sekalipun sakit, seorang kepala keluarga tidak jatuh wibawa, tetap mendapatkan penghormatan dan kasih sayang dari istri dan anak-anaknya. Bila istri yang sakit, biasanya kekhawatiran berbasis perasaan seringkali melandanya, merasa sudah tidak bisa berbuat apa-apa, tidak bisa melayani kebutuhan biologis suami yang masih sehat, ketakutan suami berpaling ke lain hati, merasa diabaikan, ini biasanya menambah penyakit yang lain, yaitu secara kejiwaan.
Inilah pentingnya semua berperan aktif untuk menciptakan suasana yang kondusif, ayah atau ibu bekerjasama dengan seluruh anggota keluarga untuk menciptakan suasana aman, nyaman dan menentramkan, bahwa sakitnya salah satu orangtua mereka bukanlah perkara yang harus dibesar-besarkan. Justru sakit yang dialami oleh salahsatu orangtua mereka bisa menjadi perekat erat keluarga yang mungkin saat sehat tidak terlalu merekat kuat.
Ingatkah anda dengan kisah pak suyatno yang sudah menikah lebih dari 30th dengan istrinya dan secara tiba-tiba saat istrinya sudah melahirkan anak ke 4 lumpuh total sampai tidak bisa bicara, dengan penuh kasih sayang pak suyatno merawatnya dan sudah 25 tahun ini dia merawat istrinya. Usianya tak lagi muda sehingga anak2nya merasa kasihan dan menawarkan untuk menikah lagi, tapi apa jawabannya : “ Anak2ku ......... Jikalau perkawinan & hidup didunia ini hanya untuk nafsu, mungkin bapak akan menikah......tapi ketahuilah dengan adanya ibu kalian disampingku itu sudah lebih dari cukup, dia telah melahirkan kalian…... kalian yg selalu kurindukan hadir didunia ini dengan penuh cinta yg tidak satupun dapat menghargai dengan apapun, coba kalian tanya ibumu apakah dia menginginkan keadaanya seperti ini.
Kalian menginginkan bapak bahagia, apakah bathin bapak bisa bahagia meninggalkan ibumu dengan keadaanya sekarang, kalian menginginkan bapak yg masih diberi Tuhan kesehatan dirawat oleh orang lain, bagaimana dengan ibumu yg masih sakit."
Ketika ditanya apa yang menyebabkan beliau bertahan merawat istri sedemikian lama, maka jawaban beliau : “jika manusia didunia ini mengagungkan sebuah cinta dalam perkawinannya, tetapi tidak mau memberi ( memberi waktu, tenaga, pikiran, perhatian ) adalah kesia-siaan.
Saya memilih istri saya menjadi pendamping hidup saya, dan sewaktu dia sehat diapun dengan sabar merawat saya, mencintai saya dengan hati dan bathinnya bukan dengan mata, dan dia memberi saya 4 orang anak yg lucu2. Sekarang dia sakit karena berkorban untuk cinta kita bersama…dan itu merupakan ujian bagi saya, apakah saya dapat memegang komitmen untuk mencintainya apa adanya, sehatpun belum tentu saya mencari penggantinya apalagi dia sakit “
Penulis pun teringat sekitar tahun 80-an pernulis pernah diajak ayah menjenguk seorang ibu muda yang sakit kanker tulang, seluruh tubuhnya lumpuh, anak-anaknya dua orang, saat itu yang paling besar baru kelas dua SD, yang membuat penulis terpana saat itu adalah kesetiaan suaminya dalam merawatnya, mewudhukannya, menggendong dan menyuapi dengan penuh kesabaran, dan dia ajari anak-anaknya yang masih kecil-kecil untuk belajar merawat ibunya, mereka pasangan muda yang masih terlihat kecantikan istrinya dan suaminya yang masih terlihat ketampanannya, sungguh suami yang luar biasa, padahal kalau dia mau, dia masih muda dan masih punya banyak kesempatan.