Sudah cukup lama meninggalkan link kompasiana untuk arena menulis, diawali dari sering ngadatnya laptop dan tidak sanggup menulis di hape dengan media yang , maka tanpa disadari semakin jauhlah kompasiana ditinggalkan.  Selama ini hanya menulis di medsos-medsos saja dengan karakter tulisan yang tidak terlalu panjang.
Walau sejak menerbitkan buku solo dan beberapa buku antologi, penulis sudah mengikrarkan diri menjadi seorang penulis, dan memilih kompasiana sebagai salahsatu media latihan untuk menulis. Â Apalagi di usia penulis yang sudah mulai senja, memulai karir sebagai seorang penulis tentu saja seolah berkejaran dengan waktu.
Sebetulnya sudah sejak kecil hobi menulis, sudah akrab dengan buku-buku dan mesin tik. Â Di keluarga kebiasaan membaca sudah diterapkan orangtua, kami berlangganan koran, berlangganan majalan-majalah sesuai usia (eh generasi Z kenal majalah tidak ya, hehehe....). Â Ayah berlangganan koran, ibu berlangganan intisari dan femina atau sarinah, kakak-kakak yang remaja berlangganan gadis, kemudian mulai ada majalah Hai, sedangkan penulis sebagai anak terkecil berlangganan majalah bobo atau kawanku.
Bapak pun hobi menulis, setiap malam Bapak sering berkutat dengan mesin tiknya. Â Kebiasaan Bapak ini membuat diriku penasaran untuk mempelajari mesin tik, kuperhatikan jemari Bapak saat menari di atas mesin tik, lalu aku temukan buku Bapak tentang mahir menulis di mesin tik dengan sepuluh jari, lalu aku pelajari secara otodidak. Â Dan taraa..... di usia kelas empat esde aku sudah mahir mengoperasikan mesin tik sehingga membuatku semakin percaya diri untuk menulis. Â Banyak dari teman-teman kakaku yang mempunyai tugas menulis makalah atau karya tulis lainnya yang meminta bantuanku.
Aku sangat bangga pertama kali tulisanku dimuat di majalah anak dengan hadiah tas dan beberapa asesoris lainnya, begitu pula saat memasuki usia remaja beberapa kali menulis di majalah remaja. Â Sehingga perlahan-lahan cerita fiksi non fiksi dan puisi mulai kulahirkan.
Seiring perjalanan waktu, karir menulisku tidak berkembang, dan yang aku rasakan yang membuat karir ini stagnan adalah setelah suatu peristiwa besar menimpaku, yaitu kehilangan orang yang paling kusayangi dan paling kucintai yaitu Ibu dibilangan usia yang masih belia.
Ibarat kompor, dia seperti kehilangan pemantik untuk mampu menyalakan apinya, begitulah diriku saat itu, bahkan aku merasa bahwa sebetulnya aku mengalami depresi berat, ditandai dengan semangat belajar menurun, membatasi diri dari pertemanan dan sering mengalami halusinasi. Â Bersamaan dengan kondisi itu gairah menulis di publik seolah menguap, diterpa ketidak percayaan diri, hanya menulis kesedihan di dalam buku diary. Â Walau pada akhirnya setelah beberapa tahun semua kondisi itu bisa diatasi dan sembuh sendiri namun sangat mempengaruhi pada kreativitas yang selama ini banyak disupport oleh Ibu.
Dan pada akhirnya kreativitas itu mati suri seiring harus hidup sendiri tanpa alat penunjang untuk menulis dan tidak ada juga tempat penyedia sarana menulis sebagai pengganti dari properti yang tidak dimiliki sendiri. Â Â Apalagi ketika peran kehidupan selanjutnya harus dijalani dengan minimnya sarana penunjang, hanya disibukkan dengan peran baru sebagai istri dan ibu sekaligus mahasiswa yang belum selesai kuliah.
Dalam dunia kreativitas ternyata kreativitas seseorang sangat dipengaruhi oleh stimulasi, lingkungan, pengalaman hidup dan kepribadian.
Stimulasi berkaitan apa yang mempengaruhi dalam diri seseorang, apabila seseorang dengan kepribadian open minded tentu dengan akan mudahnya dia menerima segala perubahan yang terjadi di luar, sebaliknya bagi orang yang tertutup sangat lambat untuk menerma perubahan yang terjadi di luar.
Faktor lingkungan juga sangat mempengaruhi dalam melahirkan kreativitas seseorang, ketika lingkungan tidak pernah memberikan apresiasi, tidak menghargai hasil karya seseorang, banyak memberikan tekanan prilaku psikologis, sehingga kejiwaan sehingga tanpa disadari mematikan kreativitas seseorang.Â