Ibu adalah sosok yang sangat penting dalam hidupku. Berkat beliaulah kami anak-anaknya bisa tumbuh dan berkembang sampai sekarang. Tidak pernah terbayangkan jika kami harus kehilangan beliau. Terlalu panjang cerita hidup kami yang dilalui dengan segala perjuangan dan air mata ibu. Kehidupan kami adalah hasil dari kekuatan yang dimiliki oleh seorang ibu, yang penuh do'a dan harapan agar anak-anaknya bisa hidup baik dan layak.
Saya adalah anak ketiga dari empat bersaudara yang terlahir dari seorang ibu sederhana. Beliau hanya seorang wanita lulusan SMP yang memiliki keterampilan menjahit. Karena perjodohan ibu harus menikah dengan seorang laki-laki yang akhirnya menjadi sosok ayah bagi kami. Setelah menikah ternyata kehidupan ibu bukan menjadi lebih baik, karena justru itulah awal mula perjuangan beliau bagi kami. Ayah berpoligami, dan pada akhirnya kehidupan kami tersia-sia karena ketidakadilan seorang ayah.
Sejak berpoligami kehidupan perekonomian keluarga menjadi carut marut, tidak menentu. Ayah adalah seorang dosen di salah satu perguruan tinggi swasta di kota kami. Kehidupan kami yang seharusnya secara ekonomi terpenuhi, malah menjadi serba kekurangan. Ayah meninggalkan kami begitu saja dan saat itulah ibu mecari nafkah untuk kami. Dengan segala daya dan upaya beliau bekerja apa saja. Dari jualan gado-gado, keripik singkong, sampai kuli cuci di salah satu pabrik dekat rumah kami. Dan pada akhirnya dengan bermodalkan satu unit mesin jahit ibu membuka usaha jahitan kecil-kecilan di rumah.
Dalam benak beliau adalah anak-anak tidak boleh terputus sekolahnya. Target ibu, anak-anak minimal lulus dari sekolah menengah atas. Karena jika lulusan sekolah menengah atas pada saat itu bisa diterima bekerja, walaupun misalnya hanya jadi Sales Promotion Girl atau karyawan biasa. Siang malam beliau bekerja untuk kami. Mengurus anak-anaknya yang masih butuh perhatian serta harus mencari biaya juga agar kehidupan terus berjalan.
Ibu, bersama beliau saya sempat merasakan bagaimana hidup ini disia-siakan oleh sosok laki-laki yang seharusnya bertanggung jawab dan melindungi kami. Bersama beliaulah saya merasakan sakitnya diusir oleh ayah kandung sendiri saat meminta tanggung jawab secara materi untuk pendidikan kami. Sejak kejadian itu muncul dalam diri saya bahwa hidup  jangan bergantung pada manusia, karena terkadang menyakitkan.
Banyak hal dan kejadian yang membuat kami bersedih dan sakit hati karena ayah. Tapi lambat laun kami mulai terbiasa dengan situasi ini. Kami, anak-anaknya belajar berdamai dengan keadaan. Kekecewaan, sakit hati, dan tangisan yang sudah terjadi menjadikan kami memahami bahwa semua itu harus disikapi dengan sabar dan tawakal. Hidup berjalan dengan apa adanya.
Pergaulan saya, adik, dan kakak-kakak pun tidak melebihi batas, karena kami menyadari bahwa hanya ibu yang kami miliki. Kami bertekad membahagiakan beliau kelak. Memang terkadang muncul rasa iri ketika melihat teman-teman bisa memiliki apa yang mereka inginkan, sementara saya hanya bisa gigit jari. Hanya bisa menangis dalam hati tetapi harus tetap tersenyum karena kami tidak boleh membuat ibu bersedih lagi.
Masa-masa SMA adalah usia dimana problematika keluarga saya memuncak. Di saat itulah saya harus bisa mengelola bagaimana rasa dalam hati. Belajar ikhlas dan legowo adalah hal yang luar biasa, yang harus saya jalani. Tapi keadaan itu tidak menjadikan saya anak yang tidak percaya diri ataupun menjadi sosok anak yang tidak peduli. Alhamdulillah, saya masih bisa mengelola hati dan perasaan. Itu semua karena berkat nasehat ibu yang mengatakan bahwa setiap kejadian atau masalah pasti ada solusinya, asalkan kita meminta dan mohon petunjuk pada Allah SWT. Saya selalu berdo'a agar tidak salah langkah karena tidak mau mengecewakan ibu yang sudah berjuang luar biasa bagi kami.
Allah SWT Maha Baik. Saya, adik, dan kakak-kakak selepas menyelesaikan studi SMA tidak kesulitan mencari pekerjaan. Sejak itu kehidupan mulai berubah, karena masa inilah dimana saya merasa bahwa ketika kita selalu bersikap dan bertingkah baik, akan ada orang-orang baik di sekitar kita. Dengan bermodal ijasah SMA, kakak tertua saya bekerja di sebuah perusahaan swasta, kakak kedua mendapatkan peluang untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil, selanjutnya adik selesai SMA juga mencoba melamar PNS dan diterima. Sementara saya diterima bekerja di sebuah bank swasta di kota kami dan pada akhirnya saya pun menjadi seorang PNS juga.
Perjalanan panjang kehidupan kami terus berjalan. Melihat anak-anaknya bekerja dan pada akhirnya berkeluarga, ibu merasa bahagia. Di dunia pendidikan kami merasa bahwa tidak cukup jika hanya lulusan SMA saja. Masing-masing dari kami akhirnya melanjutkan pendidikan kembali ke jenjang berikutnya, tentu saja kondisinya sekarang adalah biaya kami tanggung masing-masing. Kami tidak mau membebani ibu lagi untuk masalah biaya. Ibu hanya kami jadikan sebagai support system untuk masalah ini. Do'a beliau energi terbesar yang selalu kami harapkan.