Solo, kota yang indah dan rapi. Tentu kita tak asing mendengar nama kota ini, kota asal Bapak Presiden kita, Pak Jokowi. Tentu juga kota ini sangat terkenal dengan makanan khasnya, Serabi Solo.
Awal Agustus 2014, saya dan 5 teman berkunjung ke Solo. Kami berangkat jam 6 pagi dari Jogja menggunakan sepeda motor. Ya bisa dibilang kami wanita perkasa karena survive mengendarai motor selama kurang lebih dua jam perjalanan. Jalan dari Jogja-Solo tidaklah mulus. Banyak jalanan rusak yang harus segera diperbaiki.
Destinasi pertama kami adalah Pasar Klewer. Mulai dari kain batik, baju batik, celana batik, pokoknya serba batik, semua ada disini. Destinasi kedua kami adalah Timlo Sastro. Recommended. Makanannya enak dan harganya standar.
Hari mulai sore, kami memutuskan untuk berkunjung ke Taman Satwa Taru Jurug (TSTJ). TSTJ itu kebun binatang. Belum lengkap dan belum terurus, tidak seperti Gembira Loka di Jogja. Kuamati sekelilingku, ya tempat ini sebenarnya belum terlalu bersih. Masih banyak yang harus dibenahi.
Kebetulan, TSTJ terletak dipinggir sungai Bengawan Solo. Kalian bisa menikmati Bengawan Solo dari Taman Gesang yang juga terletak di dalam kawasan TSTJ.
Kulangkahkan kaki memasuki Taman Gesang. Tahu Gesang, kan? Tentunya tahu. Taman ini sengaja dipersembahkan untuk Gesang. Tapi taman ini belum layak disebut taman karena masih terlalu berantakan untuk disebut taman. Oke di sana ada patung Gesang, ada miniatur pesawat berukuran super duper besar, ada ayunan, ada jungkat jungkit, dan nah itu dia, Bengawan Solo.
Aku tepat berada di pinggir Bengawan Solo. Orang yang tidak mengenalku mungkin mengira aku akan bunuh diri hehe... Sungainya besar, airnya berwarna kecokelatan. Ya sudah tercemar sampah. Jarang sekali sungai yang masih berair jernih di jaman ini. Tiba-tiba ada seorang Bapak datang, tersenyum ke arahku, dan aku membalas senyumnya ramah. Bapak itu membawa kantong kresek hitam, dan dengan gampangnya beliau membuang kresek tersebut ke pinggir sungai. Kresek yang tidak terikat sempurna itu mengeluarkan banyak bungkusan mie instan, sisa-sisa sayuran, dan juga plastik pembungkus makanan ringan. Aku terdiam, tertegun. Ide pertama yang muncul di otakku adalah sampah ini bisa jadi uang.
Aku kembali melihat tumpukan sampah tersebut dan kemudian memandangi aliran Bengawan Solo. Masyarakat ini sukanya memang menyalahkan pemerintah ya. Kalau banjir, yang disalahkan pemerintah. Padahal hobbynya ya buang sampah sembarangan. Hayo yang salah siapa? Mungkin ini sudah menjadi budaya Indonesia. Eh ralat, bukan mungkin tapi benar.
Sekarang coba kita sama-sama berpikir. Plastik merupakan benda yang sangat susah terdegradasi oleh mikroorganisme. Butuh waktu sekian puluh tahun agar bisa hancur. Sementara, sekarang sedang marak pembudidayaan plastik untuk didaur ulang menjadi tas untuk belanja. Nah lucu lho tas daur ulang dari plastik. Apalagi buat ibu-ibu, pasti sukanya warna pink, terus dibawa ke pasar buat belanja. Jangan salah, tas daur ulang dari plastik itu kuat lho. Nah, kalau diolah dan dijual lagi, plastik yang tadinya sampah, bisa jadi duit kan? Untungnya berlipat ganda lho. Sampah plastik berkurang, dan ada pemasukan ke kantong kita. Tabungan bisa gendut lho. Berwirausaha itu asyik pemirsa.
Satu lagi, selain sampah plastik, ada juga sampah sayuran. Nah ini nih. Kebetulan aku baru saja menyelesaikan program KKN di Desa Ngagul Agulan Sleman DIY pada bulan Juli 2014. Waktu KKN, tim kami sempat memberikan sosialisasi tentang sampah dan juga kami membuat pupuk organik dari sampah sayuran dan dedaunan. Alhasil, pupuk buatan jadi dan bisa digunakan warga setempat untuk menyuburkan tanaman. Cara membuah pupuk organik cukup mudah. Nih aku share ya biar bisa dicoba para pembaca.
Alat:
1. Komposter (bisa Ember atau tong berukuran besar lengkap dengan penutupnya)
2. Wadah diberi lubang untuk pertukaran udara
3. Penyaring
4. Keran.
5. Trash bag
6. tali/karet
Keran disini dimaksud untuk dapat mengeluarkan cairan dari pupuk padat. Nah cairan ini merupakan pupuk cair dan dapat digunakan.
Komposter dilubangi dibagian bawah, lalu dimasukkan keran pada lubang tersebut.
Bahan:
1. Sekam Padi
2, EM4
3. Sampah organik
4. Larutan gula
5. Air
Cara pembuatan:
1. Haluskan sampah organik yang didapat. Dicacah sampai halus
2. Campurkan sekam padi dengan EM4
3. Masukkan sekam padi yang sudah dicampur dengan EM4 kedalam trash bag lalu diikat hingga kencang. Simpan selama 1 bulan dan jangan biarkan terkena sinar matahari.
Setelah 1 bulan:
1. Campurkan sampah organik yang telah dicacah dengan campuran sekam padi + EM4, dicampur rata.
2. Pindahkan campuran pada nomor 1 ke dalam tong/komposter lalu ditutup rapat.
3. Diamkan selama 2 minggu, dan pupuk organik siap digunakan untuk menyuburkan tanaman kita.
Selamat mencoba :D
Nah, teman-teman, sampah aja bisa jadi rupiah, so berpikir cerdas dan kreatif lah dalam menghadapi kondisi dan melihat peluang. Semoga tidak ada lagi tumpukan rupiah yang terbuang di pinggir Sungai Bengawan Solo, juga sunga-sungai yang lain.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H