Mohon tunggu...
Nurfadhilah
Nurfadhilah Mohon Tunggu... Konsultan - Beramal demi ridha Allah
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Seorang ibu rumah tangga dan pemerhati dunia Islam

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Banjir Impor Sampah

15 Februari 2020   11:11 Diperbarui: 15 Februari 2020   11:08 411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Indonesia saat ini bukan hanya sedang didera banjir air, namun banjir impor sampah pun tengah terjadi di negeri ini. Beberapa bulan lalu, kita dikagetkan dengan fakta impor sampah. Sungguh ironis, ditengah kondisi rakyat melakukan program zerowaste/lesswaste atau membuat sampah organik menjadi pupuk, namun justru negara membiarkan adanya impor sampah tersebut.

Sampah merupakan salah satu problem serius setiap negara termasuk Indonesia. Hampir setiap kota di Indonesia mengalami kendala dalam pengolahan sampah, hal ini terjadi karena pengolahan TPA (Tempat Pembuangan Akhir) sampah di sebuah kota yang lahannya masih kurang atau bahkan di sebabkan tidak meratanya fasilitas pengambilan sampah di setiap daerah, sehingga memicu masyarakat membuang sampah sembarangan seperti di jalan atau bahkan di sungai-sungai.  Akibat pengolahan sampah yang bermasalah menjadikan sampah menumpuk di tempat yang tidak seharusnya seperti di jalan, selokan bahkan sungai. Ini semua menjadi masalah baru terutama ketika musim penghujan tiba, yaitu menjadi salah satu pemicu terjadinya banjir, wabah penyakit, polusi tanah, air dan sebagainya.

Kondisi sampah di Indonesia sampai disoroti sebagai penyumbang sampah plastik terbesar kedua di dunia setelah Cina. Pemerintah Indonesia pun mulai terdorong untuk mengurangi penumpukan sampah, terutama sampah plastik. Dimana pemerintah telah menargetkan di tahun 2025 Indonesia bisa mengurangi sampah plastik sebanyak 70% dengan seruan Gerakan Indonesia Bersih (GIB) yang melibatkan berbagai elemen bangsa. Namun disisi lain, Indonesia justru terlibat menjadi negara pengimpor sampah dari negara maju.

Menurut data dari Dektorat Jendral Bea dan Cukai Menteri Keuangan Heru Pambudi " Diketahui bahwa sejak periode Januari 2018 sampai Juli 2019 sudah ada 61.900 kontainer sampah yang di impor ke Indonesia yang terdiri dari 59.000 kontainer scrap kertas atau sampah kertas dan 2.900 kontainer scrap plastik. Bahkan untuk periode terbaru saja Juli 2019 sampai Agustus 2019 atau dalam waktu 2 bulan sudah di impor sampah sebanyak 571 kontainer yang berasal dari Pelabuhan Tanjung Perak, Batam dan Tanjung Periuk".

Tren impor sampah mengalami kenaikan seiring dengan adanya kebijakan pemerintah Cina yang awalnya menjadi negara importer sampah terbesar di dunia yang mulai melarang 24 jenis impor sampah yang masuk ke negara Cina dan dipicu oleh perang dagang antara Cina dan AS, sehingga kebijakan Cina ini berimbas pada negara-negara lain seperti Indonesia, Malaysia, Vietman, Filipina, Laos dan negara-negara ASEAN yang lain yang menjadi target ekspor sampah dari negara-negara maju.

Jika beberapa negara ASEAN telah merespon perubahan perdagangan limbah plastik global dengan pembatasan impor, Indonesia yang justru mengalami kenaikan impor sampah di tahun 2018, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan peningkatan impor sampah sebesar 141% yaitu mengimpor 124.000 ton limbah plastik pada 2013 dan pada tahun 2018 naik menjadi 283.000 ton, volume transaksi ini merupakan titik tertinggi impor Indonesia selama 10 tahun terakhir.

Aneh di saat penanganan sampah dalam negeri belum bisa dilakukan dengan baik dan solusi yang diterapkan di dalam negari belum berjalan dengan baik, ini justru Indonesia menambah masalah terkait sampah dengan mengimpor sampah dari negara maju yang akhirnya sangat bertentangan dengan solusi yang selama ini di gelontorkan pemerintahan.  

Dalih impor sampah demi industri, inilah alasan mengapa Indonesia terlibat untuk mengimpor sampah dari luar negeri. Sampah-sampah yang di impor ini digunakan untuk bahan baku industri terutama industri daur ulang, karena ada perusahaan-perusahaan industri dalam negeri yang meminta izin untuk mengimpor sampah dari luar negeri.

Menurut Asosiasi Perusahaan Perplastikan Indonesia (2019), setiap tahun perusahaan-perusahaan plastik olahan di Indonesia memerlukan bahan baku untuk pembuatan berbagai macam produk plastik olahan yang amat besar, yakni berasal dari sampah plastik dan biji plastik kimiawi mencapai 0,5 juta ton. Dan kebutuhan bahan baku plastik bekas itu terus meningkat, bahkan Kementerian Perindustrian RI (2019) "memaparkan bahwa kebutuhan plastik sebagai 'kemasan' di Indonesia rata-rata naik mencapai 35% setiap tahun".

Sehingga solusi yang di ajukan para perusahaan-perusahaan tersebut adalah impor sampah dari luar negeri. Dan memang menjadi legal berdasarkan Peraturan Menteri Perdangan No 31 Tahun 2006 tentang Ketentuan Impor Limbah Non Bahan Beracun Berbahaya (B3) asalkan memenuhi persyaratan yang ada pada peraturan tersebut.

Namun betulkah demikian? Apakah sampah yang ada di Indonesia tidak bisa memenuhi bahan baku yang telah di sebutkan? Padahal Indonesia adalah penghasil sampah terbesar kedua di dunia. Dan pertanyaannya, mengapa perusahaan-perusahaan plastik nasional justru impor sampah dari berbagai negara maju? Bukan memaksimalkan penggunaan sampah yang ada di dalam negara? Ada apa dengan kebijakan impor sampah tersebut? Apa ada keuntungan lain?

Penumpang gelap pun tak dapat di pungkiri, bahwa ada keuntungan lain yang akan di dapat oleh para perusahaan. Ternyata cara mensterilkan negaranya dari sampah, perusahaan di negara maju akan menampung sampah dengan imbalan uang dan sampah akan di kumpulkan, namun ketika di kumpulkan bukannya mendaur ulang, justru sampah itu diekspor untuk ditampung di negara-negara berkembang yaitu daerah Asia dengan iming-iming uang. Biaya pengelolahan yang lebih murah dibanding dengan pengelolaan di dalam negaranya sendiri, maka negara maju lebih memilih untuk mengekspor sampah ke negara berkembang.

Celah ini dimanfaatkan sejumlah perusahaan yang ada di negara berkembang termasuk di Indonesia untuk memetik keuntungan dari bisnis sampah "karena dibayar dari negara asal," kata Dwi Sawung, Pengkampanye Urban dan Energi Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia). "Sementara jika dari dalam negeri harus membeli bahan baku," imbuhnya.

Namun sejauh ini mengaku belum memiliki data seberapa besar nilai ekonomi impor sampah luar negeri. "Kami dengar satu ton sampahnya sekitar 40 Dollar AS," tulis Dwi. (Mediaindonesia.com)

Alasan mereka yang lain ketika impor sampah menjadi solusi karena ketika mereka mengambil sampah yang ada di negara nya sendiri akan mengeluarkan uang untuk membelinya sedangkan ketika mereka mengimpor dari negara maju justru mereka mendapatkan dua keuntungan, di satu sisi mendapatkan bahan baku dan disisi lain mereka bisa meraup keuntungan material yang telah disebutkan sebelumnya.

Perjanjian impor pun terjadi bertahun-tahun hingga di tahun 2019 tanpa memperhatikan dampak negatif akibat ulah mereka. Banyak daerah yang akhirnya beralih fungsi, Misal yang awalnya adalah persawahaan namun sekarang justru menjadi tempat penampungan sampah, atau bahkan sisa sampah yang memiliki nilai ekonomi yang sangat rendah akan menumpuk atau bahkan di bakar, sehingga akan semakin mencemari lingkungan, polusi udara, polusi air, polusi tanah dan bahkan akan menjadi sumber penyakit bagi warga yang ada di daerah sekitar penumpukan sampah tersebut.

Mirisnya, sampah yang di impor ke indonesia tidak terlepas dari sampah-sampah yang mengandung B3 yang akan semakin memperparah kondisi lingkungan, seperti yang disampaikan Kementrian lingkungan hidup dan kehutanan (KLHK) RI menemukan 318 kontainer berisi sisa material plastik tercampur limbah B3 selama periode April hingga Agustus 2019 dari 772 kontainer yang di periksa. Dan total kontainer ada 822 kontainer berisi scrap plastik dan kertas, ini menandakan masih ada 50 kontainer yang belum di periksa. (Republika.co.id) Dan kata Kasih Humas Dirjen Bea dan Cukai Sudiro "Pada saat pemeriksaan ada limbah B3 padahal dokumen persetujuan impor non-B3". Budaya saling menyalahkanpun muncul.

Persoalan Indonesia sebagai negara tempat sampah bukan sekadar persoalan perubahan gaya hidup dan persoalan lingkungan belaka. Namun, terdapat aspek politis di dalamnya, bahwa sistem yang di adopsi Indonesia memberikan peluang sangat besar bagi para pengusaha yaitu sistem kapitalisme.

Sistem kapitalisme yaitu sistem yang tegak atas dasar pemisahan agama dari kehidupan (sekulerisme) dan hal yang paling menonjol pada sistem ini ialah sistem ekonominya dimana kebebasan ekonomi yang di kendalikan oleh kebebasan individu bahkan pasar atau para pemilik modal dengan membiarkan mereka memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dengan modal sekecil-kecil. Maka tak heran, dengan posisi indonesia yang akhirnya di kendalikan oleh para pengusaha dalam negeri dan luar negeri yaitu para pemilik modal.

Indonesia negara yang kaya akan sumber daya alam dan sumber daya manusia, namun tidak memiliki kekuatan dalam kancah dunia internasional. Karena Indonesia mengemban sistem yang batil yang menafikkan peran agama islam dalam mengatur sistem politik negaranya, sehingga pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya manusia di serahkan seutuhnya pada kebebasan individu yang memiliki pengaruh besar yang tiada lain yaitu para pemilik modal. Makanya tak heran jika maraknya impor sampah menjadi bukti begitu lemahnya posisi Indonesia dalam politik dan ekonomi nasional maupun internasional.

Wibawa negeri ini begitu lemah di hadapan pengusaha dan negara maju, lemahnya pengawasan dan mudahnya perizinan yang di berikan pemerintah pada perusahaan dalam negeri maupun luar negeri melakukan praktek ekonomi yang sudah jelas akan menjadi masalah baru yang memperburuk kondisi indonesia.
Berbeda jauh dengan Islam, Islam terdiri dari akidah dan aturan, sehingga pada dasarnya aturan dalam Islam lahir dari akidah.

Dimana kedaulatan ada ditangan syara, Syara' adalah seruang sang pembuat hukum yaitu Allah SWT sebagai pencipta Alam semesta yang mengetahui segalanya. Ketika menghukumi suatu aktivitas maka akan selalu di kaitkan dengan hukum syara' maka jika aktivitas impor-ekspor jika tidak bertentangan dengan akidah Islam, maka aktivitas tersebut diperbolehkan menurut Islam dan tidak di kembalikan pada posisi pasar atau kepentingan individu seperti sistem kapitalis.

Dengan demikian, posisi setiap perjanjian ekspor maupun impor harus memposisikan negara Islamlah yang memiliki pengaruh yang besar terhadap perjanjian tersebut, agar tidak bertentangan dengan akidah islam serta menjaga wibawa negara islam tetap terjaga. Oleh karena itu sudah pasti Daulah Islam tidak akan mengimpor sampah, karena sudah jelas sampah merupakan sesuatu yang akan menimbulkan masalah baru dan bukan kebutuhan yang urgen yang harus negara islam penuhi.

Selain itu Islam akan menangani masalah sampah dalam negerinya, Islam sebagai aqidah yang sempurna akan mendorong baik itu individu, masyarakat dan negara ikut berperan dalam menangani sampah.

Dengan kesadaran dan edukasi masyarakat terhadap pentingnya kebersihan sebuah lingkungan, akan membantu dalam kontroling penerapan konsep pengelolahan sampah dan pengawasan jika terjadi pelanggaran terhadap individu atau sebuaah perusahaan yang membuang limbah secara sembarangan. 

Pengelolaan sampah masyarakat tak boleh bertumpu pada kesadaran dan kebiasaan masyarakat saja, maka di sini dibutuhkan peran pemerintah dalam fasilitas pembuangan sampah dan kontroling terhadap masyarakat atau perusahaan yang nakal, yang membuang sampah sembarang.

Adapun Sejarah Kekhilafahan Islam telah mencatat pengelolaan sampah sejak abad 9-10 M. Pada masa Bani Umayah, jalan-jalan di Kota Cordoba telah bersih dari sampah-sampah karena ada mekanisme menyingkirkan sampah di perkotaan yang idenya dibangun oleh Qusta ibn Luqa, ar-Razi, Ibn al-Jazzar dan al-Masihi.

Tokoh-tokoh muslim ini telah mengubah konsep sistem pengelolaan sampah yang sebelumnya hanya diserahkan pada kesadaran masing-masing orang, karena di perkotaan padat penduduk telah berpotensi menciptakan kota yang kumuh (Lutfi Sarif Hidayat, 2011 dalam  bekasmedia.com).

Untuk menjaga kebersihan, maka negara membutuhkan biaya dan sistem yang baik, serta diperlu paradigma mendasar yang menjadi modal keseriusan pengelolaan sampah suatu negara.

Pemerintah sebagai pelayan masyarakat memiliki kewajiban untuk memastikan keberadaan sistem dan instalasi pengelolaan sampah di lingkungan disetiap wilayah, di permukiman yang tidak dapat mengelola sampah secara individual, di apartemen, rumah susun dan permukiman padat misalnya. Pemerintah harus mencurahkan segala sumber daya agar sampah terkelola dengan baik  dengan sistem yang baik.

Sehingga biaya yang dicurahkan untuk mengadakan instalasi pengelolaan sampah digunakan dengan sangat efektif dan efesien. Pemerintah juga akan mendorong para ilmuwan untuk menciptakan teknologi-teknologi pengelola sampah ramah lingkungan dan mengadopsinya untuk diterapkan di setiap wilayah yang ada di negara Islam.

Ini semua tidak akan tercapai, kalau saat ini indonesia dan negara-negara muslim di dunia masih terkungkung dalam sistem pemerintahan kapitalis, karena sejatinya peraturan yang ada dalam Islam atau fikrah Islam akan bisa di terapkan secara sempurna dan menjadi solusi kehidupan yaitu dengan penerapan thariqah Islam juga bukan yang lain.

Wallahu a'lam bisshowab

By. Siju (Pendidik)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun