Mohon tunggu...
Luqyana Humaira
Luqyana Humaira Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Airlangga

Saya Mahasiswa Universitas Airlangga yang hobinya olahraga dan makan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pengabaian Peraturan dan Ketidakadilan Hukum dalam Kasus Rachel Vennya

17 Juni 2022   00:11 Diperbarui: 17 Juni 2022   00:45 650
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sedangkan, pada Ayat (2) menyatakan bahwa setiap orang berkewajiban ikut serta dalam penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan.

Selain itu kasus pelanggaran Rachel Vennya ini juga melanggar hukum pada Pasal 14 UU Nomor 4 Tahun 1984 mengenai Wabah Penyakit Menular. Di dalam pasal ini dinyatakan bahwa siapa saja yang dengan sengaja menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 1 tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp. 1 juta.

Dikutip dari kompas.com, ada salah satu seorang protokol Bandara Soekarno-Hatta bernama Oveliana mengatakan bahwa ia melihat Rachel Vennya membayar seorang Satgas Covid-19 Bandara Soekarno sebesar Rp. 40 juta untuk kabur dari karantina . Ovelina juga sempat menjadi saksi di pengadilan dan menyebutkan bahwa Rachel sudah mengirimkan uang sebesar Rp 40 Juta saat ia masih berada di Amerika Serikat.

Artinya, Rachel Vennya sudah memiliki niat & tujuan serta rencana untuk kabur dari masa kekarantinaan yang seharusnya dijalankan setiap orang yang telah berpergian dari luar negeri. Ia telah merencanakan proses kabur dari karantina sejak masih berada di Amerika Serikat. 

Ia mengawali rencana tersebut dengan membayar dan menyogok para petugas Covid-19 dengan imbalan uang sebesar 10jt bagi masing-masing individunya. Dari awal perencanaan & pelaksanaannya pun, Rachel Vennya sudah banyak melanggar peraturan-peraturan yang telah ditetapkan.

Keputusan akhir hakim akhirnya menyatakan bahwa Rachel Vennya terbukti bersalah namun hanya diberikan hukuman percobaan dan denda Rp 50 juta. Hal ini tentunya menjadi sorotan bagi berbagai macam pihak, 

seorang pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar berkata bahwa vonis yang dijatuhkan terhadap Rachel Vennya memanglah wajar menimbulkan tanda tanya dan dirasa tidak adil. Namun, ia juga menyebutkan bahwa sistem hukum pidana di Indonesia memang menganut sistem hukuman percobaan. 

"Memang terasa tidak adil, tetapi sistem hukum pidana kita seperti itu," kata Fickar kepada Kompas.com, Sabtu (11/12/2021). "Artinya, seseorang dinyatakan bersalah tetapi tidak harus masuk penjara selama masa percobaan," sambungnya.

Masyarakat menganggap alasan tersebut tidak masuk akal karena kesalahan yang dilakukan oleh mereka cukup merugikan banyak orang yang sedang atau bahkan sudah terkena dampak dari Covid-19 ini. Ditambah lagi kasus yang terjadi pada Rachel Vennya sebelumnya juga pernah terjadi, namun pelakunya tetap diberikan hukuman yang sesuai dengan tindak pelanggaran yang ada. 

Hal ini pun pastinya memunculkan banyak tanda tanya bagi masyarakat terutama mengenai perbedaan apa yang ada pada Rachel Vennya sampai dia bisa lepas dari masa tahanan dan hanya diberikan peringatan setelah melakukan kesalahan yang sama. 

Namun tidak sedikit dari masyarakat yang menganggap hal ini lumrah di negara Indonesia karena sudah mengetahui rahasia umum bahwa hukum di Indonesia akan berpihak kepada mereka yang mempunyai harta dan kekuasaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun