Pendahuluan
Sejarah Islamisasi di Nusantara menggambarkan bagaimana kehidupan bangsa Indonesia sejak awal kedatangan agama Islam hingga kini, melalui proses Islamisasi yang tersebar di berbagai wilayah. Penyebaran Islam di Indonesia diyakini dibawa oleh para pedagang dari berbagai negara. Komunitas Islam pertama kali tumbuh di pelabuhan-pelabuhan penting di Sumatera, Jawa, dan daerah pesisir lainnya. Kerajaan-kerajaan Islam pertama kali berdiri di kawasan pesisir, seperti Samudra Pasai, Aceh, Demak, Banten, dan Cirebon. Sejarah Islamisasi di Nusantara juga erat kaitannya dengan kehidupan para raja-raja terdahulu yang telah mewariskan banyak kebudayaan yang masih kental dalam kehidupan masyarakat Indonesia, terutama dalam penyebaran agama Islam. Salah satu contoh peninggalan kerajaan yang masih berdiri kokoh hingga saat ini adalah Masjid Kudus, yang menjadi simbol kolaborasi antara budaya Hindu dan Islam (Nasir 2018:63).
Sejarah Islamisasi di Nusantara menggambarkan bagaimana kehidupan bangsa Indonesia sejak awal kedatangan agama Islam hingga kini, melalui proses Islamisasi yang tersebar di berbagai wilayah. Penyebaran Islam di Indonesia diyakini dibawa oleh para pedagang dari berbagai negara. Komunitas Islam pertama kali tumbuh di pelabuhan-pelabuhan penting di Sumatera, Jawa, dan daerah pesisir lainnya. Kerajaan-kerajaan Islam pertama kali berdiri di kawasan pesisir, seperti Samudra Pasai, Aceh, Demak, Banten, dan Cirebon. Sejarah Islamisasi di Nusantara juga erat kaitannya dengan kehidupan para raja-raja terdahulu yang telah mewariskan banyak kebudayaan yang masih kental dalam kehidupan masyarakat Indonesia, terutama dalam penyebaran agama Islam. Salah satu contoh peninggalan kerajaan yang masih berdiri kokoh hingga saat ini adalah Masjid Kudus, yang menjadi simbol kolaborasi antara budaya Hindu dan Islam.
Kerajaan Aceh memiliki peran penting dalam perkembangan Islam di Nusantara. Keberadaannya mencerminkan fase perkembangan berbagai bentuk peradaban yang tercatat dalam sejarah Indonesia. Terletak di pesisir, Aceh memanfaatkan posisinya untuk berkembang dalam ekonomi kelautan. Selain itu, Aceh turut memainkan peran besar dalam penyebaran Islam, berkembang pesat, dan menjadi pusat peradaban Islam di Asia Tenggara. Sebagai pintu gerbang penyebaran Islam di Nusantara, Aceh juga dikenal sebagai pusat peradaban Islam Timur. Secara historis, Aceh telah menjadi tempat berdirinya beberapa kerajaan Islam, seperti Kerajaan Perlak, Samudra Pasai, dan Aceh Darussalam (Fitriani dkk, 2022: 12).
Kerajaan Samudra Pasai dapat berdiri berkat upaya keras masyarakatnya. Dengan adanya komunikasi yang intens antara pemimpin dan rakyat, hal ini menjadi modal penting dalam melanjutkan berbagai proyek kehidupan yang lebih besar, terutama dalam pengembangan kehidupan sosial dan keagamaan. Samudra Pasai adalah sebuah daerah di pesisir utara Aceh (Sumatera) yang menjadi pusat Dinasti Islam pada abad ke-13 dan ke-16 Masehi, yang saya sebut sebagai Dinasti Ash-Shaliyyah, mengacu pada gelar sultan pendirinya, Al-Malik Ash-Shalih. Dalam berbagai dokumen abad ke-14 dan ke-16 M, daerah ini dikenal dengan nama Sumsula, Shummatra, dan Shumtutra, serta menjadi pusat sekte Ash-Salihiyya selama lebih dari dua abad. Pasay diperkirakan merujuk pada aliran sungai Pasay atau mungkin kerajaan pra-Islam setempat (Aceh: Krueng Pase). Hal ini diperkuat dengan penemuan Pulau Pasay dan Pulau Jumper dalam prasasti batu nisan abad ke-15 M di Gampong Madi, Nibon, Aceh Utara, yang terletak di tepi kanan sungai Pasay (Gazali, 2016: 174).
Pembahasan
Lokasi geografis dan perkembangan Samudra Pasai
     Kerajaan Islam pertama yang ada di Indonesia adalah Kerajaan Samudera Pasai. Kerajaan Samudera Pasai terletak pada posisi penting yang strategis, tepatnya di pesisir pantai wilayah Aceh yang menghadap Samudera Utara, dekat dengan Kota Lhokseumawe yang terletak di Selat Malaka dan pernah menjadi jalur perdagangan rempah-rempah. Lexojaah meniru Istam Patama di Indonesia Kerignan Samudera pesci terletak di kawasan Yanto utama wilayah Aceh di pantai utara Sumatera, khususnya dekat dengan kota Lhokseumawe, yang terletak di Selat Malaka, yang dulunya merupakan jalur yang digunakan untuk perdagangan rempah-rempah (Purnamasari 2024:46).
Dari segi administrasi pemerintahan, pusat Kerajaan Samudra Pasai yang muncul pada akhir abad ke-13 kini terletak di wilayah Kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh Utara. Pada masa kejayaannya sekitar abad ke-14, wilayah Kesultanan Pasai berada di kawasan yang diapit oleh dua sungai besar di pantai utara Aceh, yaitu Sungai Peusangan dan Sungai Pasai. Beberapa pendapat menyatakan bahwa wilayah kerajaan ini meluas ke selatan hingga muara Sungai Jambu Ayer. Namun, yang pasti adalah bahwa wilayah kerajaan ini terletak di daerah aliran sungai yang hulunya berada di pedalaman Dataran Tinggi Gayo, Aceh Tengah.
Lokasi geografis kerajaan ini menjadikannya bagian dari Kepulauan Nusantara dengan karakteristik khusus. Secara geografis, Kepulauan Indonesia berada di posisi strategis sekitar garis khatulistiwa (lintang 0), sehingga menerima sinar matahari yang hampir selalu tegak lurus. Hal ini menyebabkan suhu udara di kawasan Nusantara relatif lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah-wilayah di utara maupun selatannya (Shihabuddin dkk, 2023:174).
Sejarah Berdirinya Kesultanan Samudera Pasai
      Sultan Malik Al-Saleh dikenal dengan tulisan tahun 1297. Sejarah Samudera Pasai dimulai dari kerajaan bernama Samudera yang didirikan pada tahun 1270 M oleh Merah Silu. Kerajaan ini terbentuk melalui penyatuan beberapa kerajaan kecil di wilayah Peurelak (Perlak). Merah Silu kemudian memeluk agama Islam yang dibawa oleh nakhoda Ismail dan Fakir Muhammad dari Madinah dan Malabar, dan beliau pun berganti nama menjadi Malikussaleh atau Malik Al-Saleh. Kerajaan Samudera berubah menjadi Samudera Pasai pada tahun 1283 M dan berpusat di sekitar Lhoksemawe, Aceh bagian Utara (Shihabuddin dkk, 2023:175).
Menurut Hikayat Raja-Raja Pasai, nama Samudra Pasai berasal dari sebuah cerita di mana Meurah Silu (Malikussaleh) melihat seekor semut raksasa sebesar kucing. Pada awalnya, orang-orang yang belum memeluk Islam menangkap dan memakan semut tersebut, lalu memberi nama tempat itu dengan sebutan "laut" (samudra). Namun, ada yang meragukan cerita ini dan lebih mempercayai bahwa kata "Samudra" berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti laut. Kata "Pasai" sendiri diyakini berasal dari bahasa Persia, yaitu Parsee atau Pase, yang merujuk pada para pedagang Muslim dari Persia dan India, khususnya Gujarat, yang datang ke Nusantara pada waktu itu.
Kerajaan Samudra Pasai adalah kerajaan Islam yang berada di Sumatera, yang berdiri antara abad ke-13 hingga ke-16. Kerajaan ini didirikan oleh Meurah Silu, yang setelah memeluk Islam diberi gelar Sultan Malik As-saleh (Malikussaleh). Lokasi kerajaan ini yang terletak di pantai utara Sumatera, sekitar kota Lhokseumawe di Aceh, sangat strategis karena berada di jalur perdagangan internasional. Samudra Pasai memainkan peran penting dalam perkembangan Islam di Nusantara, bahkan sering dianggap sebagai kerajaan Islam pertama di wilayah ini, berkat proses Islamisasi yang terjadi di wilayah pesisir setelah kedatangan para saudagar Muslim pada abad ke-7 M.
Peninggalan Sejarah Islam di Indonesia
      Salah satu peninggalan Islam yang cukup menarik dalam seni tulis ialah kaligrafi. Kaligrafi adalah menggambar dengan menggunakan huruf-huruf arab. Kaligrafi dapat ditemukan pada makam Malik As-Saleh dari Samudra Pasai (Gustaman 2021:33).
Sultan Malik As-Saleh (Samudera Pasai)
      Menurut Gustaman (2021:34-35)Sultan Malik Al-Saleh adalah pendiri sekaligus raja pertama Kerajaan Samudera Pasai. Sebelumnya, beliau dikenal dengan gelar Merah Sile atau Merah Selu. Beliau adalah putra dari Merah Gajah. Dikisahkan bahwa Merah Selu melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain, hingga akhirnya diangkat menjadi raja di wilayah Samudera Pasai. Merah Selu memeluk Islam setelah bertemu dengan Syekh Ismail, seorang Syarif dari Mekah. Setelah memeluk Islam, beliau bergelar Sultan Malik Al-Saleh atau Sultan Malikus Saleh. Sultan Malik Al-Saleh wafat pada tahun 1297 M.
Sultan Iskandar Muda adalah Sultan Aceh yang ke-12 dan memerintah dari tahun 1606 hingga 1637. Pada masa pemerintahannya, Aceh mencapai puncak kemakmuran dan kejayaan. Aceh berhasil memperluas wilayahnya ke selatan dan mengalami kemajuan ekonomi melalui perdagangan di pesisir Sumatera Barat hingga Indrapura. Sultan Iskandar Muda melanjutkan perlawanan terhadap Portugis dan Johor untuk menguasai Selat Malaka. Beliau juga sangat memperhatikan perkembangan agama Islam dengan mendirikan Masjid Baiturrahman yang megah dan pusat pendidikan Islam atau dayah. Pada masa pemerintahannya, Aceh dihuni oleh ulama terkenal seperti Hamzah Fansuri.
Sultan Iskandar Muda juga menyusun sistem perundang-undangan yang dikenal sebagai Adat Mahkota Alam dan menegakkan hukum Islam dengan tegas. Bahkan, beliau menghukum rajam terhadap puteranya sendiri. Ketika ada yang mencoba mencegahnya, beliau berkata, "Mati anak ada makamnya, mati hukum ke mana lagi akan dicari keadilan." Setelah wafatnya Sultan Iskandar Muda, Aceh mengalami kemunduran.
Kesimpulan
Sejarah Islamisasi di Nusantara menunjukkan perjalanan panjang penyebaran agama Islam di Indonesia, yang dimulai sejak kedatangan para pedagang Muslim di pelabuhan-pelabuhan strategis di Sumatera, Jawa, dan pesisir lainnya. Proses Islamisasi ini terjadi melalui interaksi sosial, perdagangan, serta peran aktif kerajaan-kerajaan Islam pertama seperti Samudra Pasai, Aceh, Demak, Banten, dan Cirebon. Kerajaan-kerajaan ini tidak hanya memperkenalkan agama Islam, tetapi juga memberikan warisan budaya yang masih terasa hingga kini, salah satunya dalam bentuk peninggalan seperti masjid dan kaligrafi, yang menjadi simbol kolaborasi budaya Hindu dan Islam.
Kerajaan Samudra Pasai, yang berdiri pada abad ke-13, memainkan peran penting sebagai kerajaan Islam pertama di Nusantara. Dengan lokasi yang strategis di pesisir utara Sumatera, Samudra Pasai menjadi pusat perdagangan internasional dan juga pusat penyebaran Islam. Keberhasilan Samudra Pasai dalam mengembangkan kehidupan sosial dan keagamaan berkat komunikasi yang erat antara pemimpin dan rakyat. Hal ini memperkuat peran kerajaan tersebut dalam sejarah Islam di Nusantara. Kerajaan Aceh juga memiliki pengaruh besar dalam penyebaran Islam di wilayah ini, terutama pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda yang memajukan Aceh dalam bidang ekonomi, perlawanan terhadap Portugis, serta pengembangan agama Islam. Peninggalan sejarah Islam di Indonesia, seperti masjid dan makam para wali, menjadi saksi bisu dari kejayaan peradaban Islam yang turut memperkaya warisan budaya bangsa Indonesia.
Daftar Pustaka
Fitriani, A., Siregar, I., & Ramli, S. (2022). Peran sultan Malikussaleh dalam perkembangan kerajaan samudera pasai 1297-1326m. JEJAK: Jurnal Pendidikan Sejarah & Sejarah, 2(1), 11-22.
Gustaman, A. A. (2021). Penggunaan Media Foto dan Gambar untuk Meningkatkan Hasil Belajar Peserta Didik pada Materi Peninggalan Sejarah dan Tokoh Sejarah Islam di Indonesia. Sinau: Jurnal Ilmu Pendidikan dan Humaniora, 7(2), 22-39.
Nasir, M. J. M. (2018). Islamisasi Nusantara dan proses pembentukan masyarakat Muslim. Journal Multicultural of Islamic Education, 2(1).
Purnamasari, I., Ginting, J. C., Vito, J., Purba, M. B., Bangun, S. B., & Pasaribu, T. N. A. (2024). KERAJAAN ISLAM DI SUMATRA DAN KERAJAAN KERJAAN ISLAM DI PANTAI UTARA JAWA. Holistik Analisis Nexus, 1(6), 45-50.
Shihabuddin, A., & Roza, E. (2023). Sejarah Uang Dirham Kesultanan Samudera Pasai: Kontribusi terhadap Peradaban Islam di Indonesia. Al-Aulia: Jurnal Pendidikan dan Ilmu-Ilmu Keislaman, 9(2), 171-186.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H