Mohon tunggu...
Luqman Hakim
Luqman Hakim Mohon Tunggu... Desainer - Tinggal di Depok masih pengen jadi orang kreatif, terus, sampai tua, sampai nggak bisa kreatif lagi.

Orang biasa dan bukan siapa-siapa. Bukan wartawan, bukan penulis, bukan kartunis, bukan komikus, bukan fotografer, bukan desainer, bukan animator, jangan juga nuduh Art Director apalagi Creative Director, bukan dan bukan, pokoknya bukan siapa-siapa. Cuma orang biasa yang pengen tetep selalu kreatif.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memaknai Idul Fitri dengan Cara Brutal

29 Juni 2017   07:10 Diperbarui: 29 Juni 2017   08:01 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hal yang apa adanya di saat hari kemenangan itu tiba, ada saja sisi batin yang tergores dengan pertanyaan-pertanyaan sanak keluarga, seperti;

Kenapa belum nikah?
Kok belum punya anak?
Anakmu sudah besar tuh, kapan nambah lagi?
Kok belum punya mobil? Anak sudah banyak masih pakai transportasi umum saja. Nabung dong biar kebeli!

Dan pertanyaan lainnya dan sebagainya.

Sebenarnya tak perlu marah, tak perlu sakit hati. Ada saja bagian dari keluarga yang menyatakan rasa kepeduliannya dengan cara 'kepo', ingin tahu, menyelidik, ujung-ujungnya komparasi, apakah keluarga yang ditanya itu meningkat atau tidak perkembangan kehidupan dan ekonominya.

Tak pernah ada yang bertanya tentang; 

Bagaimana pahala puasa Ramadhan kemarin?
Bagaimana dengan persiapan menuju kampung akhirat?
Menambah atau tidak kadar ketakwaan kita pada Allah SWT?

Hal absurd begini jelas tak pernah ditanya ke anggota keluarga yang lain karena memang tak terlihat adanya. Hal yang kasat mata namun makna yang disampaikan para ustadz, para guru ngaji, arahnya memang selalu ke sana, kepada kadar ketakwaan kita pada Allah SWT, meningkat atau tidak.

Menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi sebenarnya mudah, sebab Islam mengajarkan 'qishas', yaitu pembalasan yang setimpal. Dasar hukumnya juga jelas, Al Baqarah 2:178 dan Al Isra' 17:33, meski memang kaedah di sana adalah hal yang dibunuh, seperti halnya perasaan kita yang dimatikan dengan pertanyaan-pertanyaan tak penting tadi.

Singkatnya, tak perlu menjaga perasaan kita pada orang yang memang tak mau menjaga perasaan orang lain, meski itu keluarga sendiri. Meski memang cara 'qishas' begini bisa berakibat pada perpecahan di keluarga. Cara terbaik memang tak perlu dijawab, cukup diberi senyum dengan tampilan yang kecut, bahwa kita memang tidak pernah suka dengan pertanyaan-pertanyaan tadi.

Ya. Mohon dimaklumi, menjadi dewasa adalah sebuah pilihan, sementara menjadi tua memang sebuah proses alam di kehidupan bahwa semua orang kelak akan menua. Tapi belum tentu yang tua itu adalah orang dewasa yang otomatis menjadi bijak adanya.

Senyumlah. Memaknai Idul Fitri tak perlu dengan cara brutal, bahwa kelak yang dikembalikan ke Allah SWT selain ketakwaan juga hati kita. Seperti apa rasanya hati ini bila terus mendongkol setiap Idul Fitri tiba.

(LH, 5 Syawal 1438H)

Sumber gambar: resepcaramasak.info

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun