Saya jadi teringat peristiwa 16 tahun silam yang acapkali disebut 'Annus Horriblis' (tahun yang mengerikan) dan ini jadi tragedi memilukan yang tak akan pernah terlupakan di sepanjang sejarah kelam Indonesia.
[caption id="attachment_315136" align="aligncenter" width="640" caption="Demonstrasi Mahasiswa Indonesia, Mei 1998 (Foto Iqbal S. Nugroho, merdeka.com)"][/caption]
Kerusuhan 1998
Hari Selasa, 10 Maret 1998, Sidang Umum MPR RI yang diketuai oleh Harmoko menetapkan Haji Muhammad Soeharto dan Baharuddin Jusuf Habibie sebagai pemimpin baru Indonesia periode 1998-2003. Tidak bisa dibilang pemimpin baru karena Pak Harto naik tahta kepresidenan untuk yang ketujuh kalinya bersama Pak Habibie, hal yang sudah diduga oleh rakyat Indonesia kebanyakan. Bukan hanya itu, saat Kabinet Pembangunan VII diumumkan, Pak Harto memasukkan anak kandungnya yang pertama sebagai Menteri Sosial.
Ini membuat mahasiswa marah, tudingan KKN, Kolusi Korupsi dan Nepotisme terhadap pemerintah makin menjadi. Krisis ekonomi global yang terjadi di seluruh dunia sejak pertengahan tahun 1997 dan imbasnya juga terjadi di Indonesia. Hal ini makin membuat rakyat Indonesia tambah menangis. Pemerintah tak mampu lagi menetapkan standar fix rate untuk mata uang asing, di mana sejak awal tahun 1998, ketika nilai tukar 1 dolar Amerika setara dengan Rp 17.000 dan masyarakat kebanyakan sudah tidak mampu lagi membeli kebutuhan pokok mereka pun daya beli masyarakat jadi tak terjangkau secara luas, apalagi dengan kondisi politik yang makin memanas, makin membuat rakyat menderita. Beberapa tokoh intelektual pun mahasiswa menganggap ini adalah bentuk ketidak pedulian pemerintah terhadap rakyatnya.
Amien Rais yang sudah lama meniup-niupkan wacana suksesi, Pak Harto akan jadi begawan Indonesia dan jadi orang yang sangat dihormati di negeri ini saat ia mampu menggulirkan tahta kepresidenannya pada orang yang mampu di negeri ini ternyata tidak dilakukan, Pak Harto tetap jadi presiden RI yang ketujuh kalinya. Tak ada hari tanpa demonstrasi di seluruh Indonesia, gelombang protes meminta Pak Harto turun makin merebak, tuntutan reformasi digulirkan. Sebaliknya Pak Harto malah berpidato meminta mahasiswa balik ke kampus untuk kembali belajar, reformasi baru bisa dijalankan tahun 2003 saat kepengurusan Kabinet Pembangunan VII selesai mengemban tugas.
Selasa sore, 12 Mei 1998, saat sekerumunan mahasiswa Universitas Trisakti berdemonstrasi di dalam kampus dan akan bergerak secara long march menuju gedung MPR/DPR RI, aparat keamanan yang berjaga-jaga di luar kampus Universitas Trisakti dengan senjata laras panjang dan gas air mata menghalau mahasiswa kembali ke kampus. Tak ayal terjadi baku hantam, lemparan batu ke arah aparat dibalas dengan pukulan popor senapan ke arah mahasiswa. Kondisi mulai rusuh, gas air mata dikeluarkan demi meredam kerusuhan tak juga membuat mahasiswa jadi anak manis dan menurut, mereka makin marah pada aparat yang tak mau mengerti perjuangan menuntut perbaikan. Hujan peluru pun menghiasi kampus Universitas Trisakti, entah peluru karet atau peluru betulan, yang pasti ada 4 orang mahasiswa Universitas Trisakti, Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan dan Hendriawan Sie meninggal dunia terkena peluru yang bukan terbuat dari karet. Aksi mahasiswa yang berlangsung cukup lama dan baru mereda ketika waktu maghrib tiba.
Saat itu saya yang masih berstatus sebagai mahasiswa namun menyambi bekerja di Bank BNI Cabang Rasuna Said, Jakarta, menonton dari televisi di kantor, terdiam dan terhenyak, apa yang terjadi pada negeri yang saya diami ini?
Berita penembakan aparat keamanan ke kampus Universitas Trisakti jadi pemicu kerusuhan lain yang lebih parah. Besoknya hari Rabu tanggal 13 Maret 1998, tidak lagi mahasiswa yang marah, namun rakyat Indonesia. Namun sayangnya kemarahan ini dilampiaskan pada etnis tertentu yang dianggap sebagai biang keladi ketimpangan ekonomi di Indonesia, bukannya pada pemerintah. Entah siapa yang memulai pertama kali, yang pasti di tanggal ini terjadi penjarahan besar-besaran di sentra-sentra ekonomi, toko, supermarket, tempat perbelanjaan, bank, habis dijarah oleh massa.
Saya hanya bisa melihatnya dengan sedih, inikah Indonesia kita yang katanya adalah manusia yang ramah dan berbudi? Nyatanya massa melampiaskannya pada etnis tertentu yang belum tentu semuanya salah. Kesalahan yang dilakukan oleh segelintir oknum Tionghoa, seperti yang dilakukan oleh Edi Tanzil dilampiaskan pada semua orang Tionghoa di Indonesia. Toko kelontong kecil yang dipunyai oleh etnis Tionghoa yang membantu menopang perekonomian rakyat sekitar, menyediakan berbagai kebutuhan pokok warga dijarah dan dibakar, pemiliknya dipukuli dan dihabisi, yang menyedihkannya lagi di beberapa tempat terjadi pemerkosaan pada perempuan Tionghoa dan itu dilakukan di dengan bangga.
Sungguh, saya hanya bisa sedih melihat kejadian itu dari lingkup yang terbatas, dunia saya hanya kampus tempat saya kuliah dan kantor tempat saya bekerja. Saya tak bisa berbuat apa-apa. Hingga tanggal 18 Mei 1998, ketika salah seorang kawan mengajak saya untuk long march bersama mahasiswa lain menuju gedung MPR/DPR RI untuk mengajukan tuntutan pada pemerintah atas kondisi yang makin kacau balau, saya makin berpikir, saya masih bekerja, meski mahasiswa saya punya tanggung jawab sebagai karyawan di Bank BNI Cabang Rasuna Said, Jakarta.
Namun ketika salah seorang sekuriti tempat saya bekerja mengomentari, "Sudah Man, sana kamu berangkat saja, kejadian ini tak akan pernah terulang lagi! Kamu mahasiswa, ini kesempatan besar buat kamu menceritakan pada anak-cucu kamu bahwa kamu pernah demonstrasi ke pemerintah bersama mahasiswa lain dalam jumlah besar. Ini sama seperti kejadian 66, berangkatlah sana, sayang saya bukan mahasiswa, saya cuma sekuriti biasa."
Omongan sekuriti di tempat saya bekerja malah membuat saya jadi yakin untuk bolos kerja, berangkatlah saya bersama teman-teman mahasiswa long march ke gedung MPR/DPR RI dan kami mahasiswa Indonesia berhasil menduduki gedung paling terhormat di negeri ini. Sempat saya berbuat gila, saat kami mahasiswa Indonesia menduduki atap gedung MPR/DPR RI, saya mengencinginya dan berpikir, kapan lagi saya bisa mengencingi gedung paling terhormat di negeri ini? Aksi spontan saya malah diikuti oleh beberapa mahasiswa lain dan alhasil atap gedung MPR/DPR RI bau pesing akibat ulah kami.
4 hari lamanya, dari tanggal 18 Mei hingga 21 Mei 1998 kami mahasiswa Indonesia menduduki gedung MPR/DPR RI, hingga akhirnya di jam 9 pagi, Pak Harto mengumumkan pengunduran dirinya di Istana Merdeka Jakarta dan meminta maaf kepada seluruh rakyat apabila dalam memimpin banyak melakukan kesalahan.
Kami mahasiwa Indonesia bersorak bergembira, kami pun kembali ke rumah dan ke kampusnya masing-masing, seperti saya juga yang kembali beraktivitas kuliah sambil kerja. Tak perlu ditanya apa yang terjadi saat saya balik ke kantor, saya dimarahi kepala cabang kantor tempat saya bekerja karena bolos 4 hari, terkena SP (Surat Peringatan) dan saya hanya tersenyum-senyum sendiri menerimanya. Setidaknya saya jadi ikut saksi sejarah atas runtuhnya rezim Orde Baru.
22 Juli 2014, Apa yang Akan Terjadi?
Kejadian demonstrasi mahasiswa 1998 itu sudah 16 tahun lalu, usia saya pun masih muda ketika itu, masih 23 tahun. Kini usia saya akan memasuki 40 tahun, usia di mana sering dibilang orang sebagai usia dewasa matang. Ya, saya sudah menikah dan punya 3 orang anak. Hidup saya pun kini lebih banyak diprioritaskan untuk keluarga demi melihat mereka bahagia.
Pemilu Presiden 2014 tanggal 11 Juli lalu ketika saya menjadi anggota KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara) di TPS 36 tempat saya tinggal, dari 344 warga yang menyalurkan hak pilihnya, 145 orang memilih pasangan Prabowo-Hatta dan 195 orang memilih pasangan Jokowi-JK, sisanya 4 orang tidak memilih alias golput. Dari jauh-jauh hari sebelum Pemilu Presiden beberapa teman meramalkan akan terjadi kerusuhan horizontal yang sama atau malah lebih besar dari Kerusuhan Mei 1998. Mereka bilang ini terjadi apabila ada massa dari salah satu pasangan capres yang tidak terima bila mereka kalah.
Sudah lama saya tidak bekerja di Bank BNI, kini saya bekerja di sebuah perusahaan Multimedia dan Internet yang bertempat di BeritaSatu Plaza, Jakarta. Ya, BeritaSatu TV adalah stasiun televisi yang tidak begitu disukai Prabowo dan ini jelas-jelas dikemukakannya saat press conference-nya dengan para jurnalis beberapa waktu lalu. Prabowo menyinggung BeritaSatu TV, Metro TV sebagai media yang tidak berimbang dalam pemberitaan mengenai dirinya. Sudahlah, saya tak mau mengomentari tvOne, MNC Group yang juga tidak berimbang pada pasangan Jokowi-JK, tak perlu diributkan polemik itu, tak ada gunanya.
Yang pasti, pengelola gedung tempat saya bekerja agak phobia dengan kemenangan versi Quick Count untuk pasangan capres Jokowi-JK, mereka menghimbau tenant terutama BeritaSatu untuk tidak menggunakan atribut-atribut kampanye Jokowi-JK, apalagi Pemilu Presiden sudah dilaksanakan. Pun karyawan BeritaSatu TV juga dihimbau untuk tidak menggunakan seragam karena ditakutkan akan menimbulkan aksi kerusuhan dari massa yang tidak suka atas kemenangan versi Quick Count.
Saya jelas tidak bekerja di BeritaSatu TV, tapi saya mengenal banyak teman-teman di BeritaSatu TV, yang pasti yang saya lihat, pasca Pemilu Presiden dan sejak adanya himbauan dari pengelola gedung, mereka bekerja seperti biasanya. Tetap menggunakan seragam, tetap dalam diskusi dan obrolan yang mengalir begitu saja pasca buka puasa di kantin. Di sana juga beragam, ada yang pro Prabowo-Hatta, ada yang pro Jokowi-JK, dalam setiap pembicaraan kami di kantin juga tak ada indikasi sakit hati di pendukung pasangan Prabowo-Hatta di kantor saya atas kekalahan versi Quick Count. Semuanya mengalir begitu saja, kita semua memang harus bekerja mencari nafkah untuk keluarga di rumah. Apalagi ketika hari Jumat 11 Juni kemarin Jokowi diundang secara Live untuk wawancara di BeritaSatu TV, dari sebelum kedatangan Jokowi, kantor tempat saya bekerja sudah diperiksa oleh polisi dan intel untuk memastikan keamanannya.
Yang ditakutkan banyak orang adalah ketika ada massa yang militan dari pasangan capres tertentu yang tak bisa menerima kekalahan versi Quick Count lantas melampiaskannya pada pendukung pasangan capres yang menang. Hal ini yang membuat pengelola gedung di tempat saya bekerja phobia. Segala antisipasi dilakukan untuk menghadapinya.
Namun saya percaya, massa kedua belah pihak pendukung capres sudah dewasa, mereka tak akan ribut-ribut dan mampu bersikap legowo menerima kenyataan yang ada. Sama seperti ketika saya menonton konser Metallica 25 Agustus 2013 lalu, dikhawatirkan konser ini akan terjadi kerusuhan seperti halnya konser Metallica 20 tahun lalu tanggal 10-11 April 1993. Nyatanya yang saya hadapi adalah massa penonton yang tertib dengan musik hingar bingar, ketika memasuki gerbang pintu masuk stadion GBK berjalan dengan tertib dan yang membuat saya bergidik haru ketika konser dibuka pukul 20.00 WIB, di pinggir-pinggir halaman GBK beberapa orang menggelar koran dan melakukan Shalat Maghrib sebelum konser di mulai. Ya, musik tidak ada kaitannya dengan karakter seseorang, musik adalah bentukan ekspresi dari jiwa seseorang, bukan cerminan karakter pribadi. Saya nonton di kelas festival dan melihat Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo yang kemudian saya juga sempat melihat Gubernur DKI Joko Widodo ikut menonton pertunjukan musik keras ini. Puluhan lagu dinyanyikan James Hetfield dan kawan-kawan, ketika konser selesai, pulang ke rumah, tak ada kerusuhan sedikit pun seperti kejadian konser Metallica 20 tahun silam. Ya, massa penonton Metallica yang dulunya remaja kini sudah dewasa, mereka pun tahu bahwa menonton konser musik metal untuk melepaskan ekspresi terhadap jenis musik yang mereka sukai, bukannya membuat rusuh.
Sudah jelas keputusan hasil Pemilu Presiden ada di tangan KPU nanti tanggal 22 Juli 2014, namun lucunya Husni Kamil Manik selaku ketua KPU malah mengatakan hasil Pemilu Presiden yang akan diumumkannya nanti bukan hasil yang mutlak dan bisa digugat di Mahkamah Konstitusi. Nah lo! Bila hasilnya tidak mutlak benar, Quick Count tidak bisa dipercaya, lantas KPU juga tidak bisa dipercaya, lantas kami rakyat harus percaya yang mana Pak?
Masih teringat dalam benak kita semua kelakuan Akil Moechtar sebagai ketua Mahkamah Konstitusi memainkan hasil pilkada daerah dengan menerima uang suap yang jumlahnya sangat besar, namun kami rakyat Indonesia sangat berharap bisa mempercayai hasil Pemilu Presiden kali ini bisa dilakukan dengan jujur dan tanpa manipulasi data, KPU bisa mengumumkannya ke masyarakat Indonesia dengan jujur, benar dan adil tanggal 22 Juli nanti.
Saya tak berharap ada Akil Moechtar lagi di masa sekarang, pun Husni Kamil Malik juga sebagai ketua KPU harus benar-benar tegas dalam memberitakan hasil Pemilu Presiden. Saya sebagai rakyat Indonesia juga sangat berharap semua penyelenggara negara mampu menjalankan tugasnya dengan baik dan benar serta jujur dalam bersikap pun bertindak. Kebenaran harus disampaikan dengan benar, bukan dengan hasil yang sudah dimanipulasi.
Secara umum siapapun presidennya saya hanya berharap dialah yang terbaik yang dipilih oleh rakyat Indonesia. Untuk itu dalam penentuan hasil kali ini saya tidak mau memihak pada Prabowo-Hatta atau pun Jokowi-JK, toh Pemilu Presiden juga sudah lewat, saya hanya mau menunggu hasilnya saja, lagipula pilihan saya saat Pemilu Presiden lalu tetap jadi rahasia saya, bukan untuk diumbar. Dari jauh-jauh hari sebelumnya saya tidak pernah tertarik untuk ikut jadi relawan dari kedua kandidat presiden tersebut, baik diam-diam apalagi terang-terangan. Tak pernah saya mengajurkan teman, kerabat, bahkan istri juga orang tua saya untuk memilih pasangan capres tertentu, mereka punya pilihannya masing-masing sesuai harapan semua rakyat Indonesia akan pemimpinnya yang terbaik.
Alhasil tanggal 22 Juli nanti, kita semua hanya bisa berharap yang terbaik tanpa mengedepankan emosi atas kekalahan pasangan capres yang kita dukung. Siapapun yang naik, dialah yang terbaik. Tak perlu mengumbar emosi di bulan Ramadhan ini dengan melakukan tindak kekerasan pada pendukung pasangan capres yang menang. Kerusuhan Mei 1998 sudah jadi bagian sejarah kelam negeri ini dan kita semua tak ingin terulang kembali.
Tetap jadi manusia Indonesia yang terbaik. Toh kita harus bekerja mencari nafkah untuk penghidupan, menuntut ilmu bagi yang masih di bangku pendidikan. Jangan pernah memulai benih kerusuhan pasca 22 Juli nanti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H