Berkendaraan bukanlah hal yang aneh saat ini. Terutama kendaraan roda dua yang sebarannya mencapai jutaan unit dengan perkembangan tahunan yang sangat tinggi.Â
Diawali sebagai barang mewah yang tidak semua orang dapat memilikinya sampai menjadi kebutuhan harian menggantikan jalan kaki. Tren kembali berbalik karena kendaraan juga menjadi style alias nggaya. Tren motor lawas, motor gede, motor matic, motor sport, dan sebagainya menghiasi jagat otomotif dunia.
Indonesia menjadi pangsa pasar yang sangat empuk bagi produsen motor dunia. Hal yang lumrah apabila ditemui satu orang memiliki lebih dari satu unit kendaraan. Bahkan yang tidak memiliki garasi juga punya lebih dari satu kendaraan.Â
Kendaraan roda dua juga telah menggeser kebiasaan berjalan kaki secara masif di dekade terakhir. Entah tren yang mengejar kebutuhan atau tren dikejar kebutuhan, yang jelas mata dan rasa tak pernah dusta.
Pengguna kendaraan roda dua (katakanlah motor) juga berkembang dari waktu ke waktu. Dulu motor hanya dipakai oleh orang-orang yang telah bekerja saja. Sekarang motor juga dipakai oleh anak-anak sekolah sebagai sarana transportasi yang acap kali disalahgunakan untuk lebih dari sekedar itu.Â
Regulasi di negara ini hanya membolehkan untuk memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM) tipe C untuk kendaraan setelah berusia 17 Tahun, nyatanya banyak anak di bawah usia tersebut yang telah wara-wiri berkendara motor.Â
Memang mungkin regulasi hanya mengatur tentang batasan usia memiliki SIM bukan tentang batasan boleh tidaknya berkendaraan di bawah usia tersebut secara eksplisit. Seharusnya aturan yang diberikan adalah siapapun yang lulus uji berkendara sudah dapat memiliki SIM.
Pelarangan mengemudi di bawah umur tentu jelas maksud dan tujuannya apa lagi kalau bukan demi keamanan dan keselamatan. Angka kecelakaan tinggi yang tercatat (mungkin banyak kasus yang tidak tercatat) secara statistik kurang lebih 73% terjadi pada kendaraan roda dua. Pengendara yang mengalami kecelakaan sebagian besar berada pada tingkat pendidikan SMA atau berada di rentang usia 15-17 Tahun.
Kesimpangsiuran ini perlu dicarikan penyelesaiannya apalagi dijadikan usaha sampingan oleh pejabat negara. Maka dari itu dapat diidentifikasi masalah pertama adalah pembatasan usia adalah untuk menekan kecelakaan. Kecelakaan terjadi disebabkan oleh usia muda yang dinilai rentan secara fisik, emosi, dan finansial.Â
Secara fisik tubuh anak muda mungkin rentan lelah jika berkendara untuk waktu yang lama sehingga perlu batasan durasi berkendara. Kestabilan emosi anak muda dalam berkendara masih dipertanyakan, contoh kasus apabila terjadi saling provokasi di jalanan ketika berkendara.Â
Anak muda mudah terpancing untuk bertindak secara fisik. kasus  klitih di Yogyakarta misalnya, sebagian besar karena saling provokasi kemudian terjadi balas berbalas di lain waktu dan kesempatan.Â
Apalagi anak-anak juga kerap menjadi target para pelaku kejahatan curanmor. Anak-anak juga rentan teledor seperti ketinggalan kunci kendaraan, lupa memakai pengaman, serta menyesuaikan kecepatan.Â
Secara finansial, anak-anak belum akan mampu untuk membeli kendaraan. Kebanyakan kendaraan adalah pembelian orang tua setelah melewati bujuk rayu anaknya lewat mogok makan, mogok sekolah, bahkan mogok keluar rumah. Jadi, orang tualah yang seharusnya bertanggung jawab dalam hal ini. Belum lagi jika terjadi kerusakan tetap orang tua yang akan keluar dananya bukan?
Permasalahan ini pernah dibahas oleh salah satu gubernur di pulau jawa pada tahun 2018 lalu agar anak-anak sekolah dapat diberi SIM apabila sudah lulus uji berkendara.Â
Usulan ini nampaknya belum ditanggapi secara serius oleh pihak terkait. Bahkan sudah mendapat penolakan dari beberapa pihak. Akibatnya kasus kecelakaan tetap meningkat dari tahun ke tahun sementara para pemilik alias korporat pembuat kendaraan terus menikmati laba penjualan.
Bukan ingin membiasakan yang salah dan menyalahkan yang biasa, tetapi kondisi yang kita temui saat ini orang tua juga tidak sedikit yang  merasa terbantu kalau anaknya dapat mengendarai sepeda motor. Meski masih belum memiliki SIM, setidaknya untuk menemani belanja harian sudah masuk kriteria menantu idaman.
Solusi dari permasalahan ini tentu saja adalah bagaimana caranya menyatukan berbagai persepsi antara lain pejabat pembuat kebijakan, orang tua, anak, serta sekolah.Â
Kebijakan yang dapat dibuat misalnya jalur khusus anak sekolah, jam berkendara anak sekolah, batasan durasi berkendara, jenis dan tipe kendaraan, batasan kecepatan, dan kebijakan pendukung lainnya.Â
Bagi orang tua sangat penting melakukan pengawasan secara mandiri mulai dari menyiapkan perangkat keamanan yang terstandarisasi, pengecekan kesehatan kendaraan, dan keberanian untuk mengatakan tidak kepada perilaku yang berlebihan dalam berkendaraan.Â
Anak-anak juga patut menyadari untuk  tidak berbuat diluar batas. Cukuplah kendaraan hanya sebagai alat yang mempermudah kegiatan seperti sekolah, membantu orang tua, silaturahmi keluarga, dan tidak keluar koridor apalagi menuruti emosi semata.
Sekolah memiliki peranan penting dalam mengawasi perilaku berkendaraan anak sekolah. Sosialisasi keamanan dan keselamatan secara rutin dilaksanakan.Â
Menyiapkan fasilitas pengecekan kendaraan di sekolah. Memberikan moralitas yang baik di dalam setiap sendi kehidupan anak terutama menjaga keselamatan diri sendiri.
Semua kriteria di atas dapat dijadikan masukan untuk membuat kebijakan agar anak sekolah terutama yang telah masuk kriteria mampu berkendara dengan baik memiliki akses terhadap fasilitas yaitu mendapatkan surat izin mengemudi (SIM).
SIM khusus pelajar ini hendaknya dapat direalisasikan dengan berbagai pertimbangan kriteria terbaik dan proses pengawasan secara berkesinambungan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H