Isu rasialisme yang mengisi tontonan dan media terus menjadi perbincangan yang seakan membuka setiap jahitan luka-luka masih basah menganga.
Setiap orang tentu berharap tidak akan pernah mendapat kejadian serupa, sesederhana apapun itu. Walaupun tidak dapat dipungkiri juga seringkali kita tanpa sadar melakukan tindakan atas dasar ras.
Anggaplah itu sebagai aib pribadi yang tidak perlu diumbar tetapi terus berusaha memperbaiki dengan bercermin pada diri dan lingkungan.
Menghilangkan rasialisme dalam benak setiap orang memerlukan waktu dan kesadaran tinggi apalagi pada orang-orang terbiasa melakukannya.
Tindakan ini berkaitan dengan ruang dan waktu terjadinya peristiwa. Ruang berkomposisi mayoritas dan minoritas sangat membutuhkan perhatian tentang isu ini agar tidak menjadi kriminal.
Begitu juga bom waktu dapat tiba-tiba meledak apabila  sedikit saja terucap kata-kata mengandung rasialisme. Sebagai orang awam hal ini terkadang tidak menjadi masalah karena kurangnya pengetahuan, kebiasaan, dan keakraban. Sensitivitas bergantung pada tingkat keparahan situasi dalam ruang.
Ruang yang kita tahu marak menjadi arena tindakan rasialisme adalah mayoritas terjadi di Eropa dengan perang dunia sebagai salah satu bukti berbahayanya perlakuan ini. Afrika menjadi titik tolak abad modern yang terbukti mampu mencegah rasialisme yaitu dalam penghapusan politik Apartheid.
Sementara banyak negara di Asia masih kurang percaya diri untuk setara dengan bangsa lainnya termasuk Indonesia. Di Indonesia saja masih belum selesai urusan dalam menyetarakan sesama warga negaranya. Apalagi perkembangan media juga dapat menjadi salah satu faktor tumbuh suburnya tindakan rasialisme.
Kasus unik justru ditemui pada negara-negara eks jajahan. Rasialisme tumbuh subur bahkan mengakar kuat dalam diri masyarakatnya.
Parahnya lagi menjadi kerdil dan inferior ketika berhadapan dengan bangsa lain terutama Eropa. Bukan rahasia lagi kalau apa saja menjadi kiblat adalah peradaban Eropa.
Walaupun kita juga tahu bahwa gudangnya adab dan moral adalah benua Asia. Perbandingan ini bukan meninggikan atau merendahkan tetapi begitulah sikap yang muncul akibat dari berbagai perpaduan peristiwa.
Mengatasi rasialisme di Indonesia telah diupayakan dalam UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Lebih sederhana lagi sebenarnya dengan menjunjung tinggi Pancasila sudah cukup mumpuni bagi setiap individu maupun kelompok menangkal rasialisme. Faktanya nilai-nilai dalam Pancasila selalu dapat berkembang dan menjadi filtering dalam berbagai situasi.
Pemerintah sebagai otoritas juga akan terus menerus diuji komitmennya dalam menegakkan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Selain butuh slogan juga memerlukan pembuktian sehingga diakui oleh berbagai elemen kemasyarakatan.
Akhirnya hanya waktulah yang akan menjawab perubahan dan menghapuskan rasialisme. Perlahan namun pasti rasialisme akan terus berkurang seiring informasi dan pengetahuan tentang kesetaraan semakin mudah diakses. Berbagai kampanye anti rasialisme harus tetap digaungkan sebagai bentuk solidaritas permanen ciptaan Tuhan.
Sayangnya umat Islam sebagai agama pionir dalam persamaan juga terjebak situasi ini karena bayang-bayang kejatuhan dinasti Utsmaniah beberapa dekade lalu masih belum dapat berlepas diri. Konspirasi atau bukan, juga waktu yang akan menjawabnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H