Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin seseorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhan yang Maha Esa.Â
Perkawinan bukan hanya mempersatukan dua pasangan manusia, yakni laki-laki dan perempuan, melainkan mengikatkan perjanjian yang suci atas nama Allah, bahwa kedua mempelai berniat membangun rumah tangga yang sakinah, tentram, dan dipenuhi oleh rasa cinta dan kasih sayang.
Kita ketahui bahwa manusia merupakan mahluk sosial, yang artinya bahwa manusia tidak dapat hidup seorang diri. Manusia sangat membutuhkan manusia lainnya untuk bersosialisasi.Â
Contoh kongkritnya dalam kehidupan sehari-hari adalah dengan sebuah pernikahan atau perkawinan. Sejak lahir manusia telah dilengkapi dengan naluri untuk hidup bersama dengan orang lain mengakibatkan hasrat yang kuat untuk hidup teratur.
Menurut ajaran Islam menikah adalah menyempurnakan agama. Oleh karena itu, barang siapa yang menuju kepada suatu pernikahan, maka dia telah berusaha menyempurnakan agamanya, dan berarti dia pula telah berjuang untuk kesejahteraan masyarakat.
Karena berawal dari pernikahan dapat mewujudkan sebuah tatanan keluarga didalam kehidupan masyarakat. Jika unit-unit keluarga baik dan berkualitas, bisa dikatakan bangunan masyarakat yang diwujudkan akan baik dan kokoh.Â
Dalam budaya Jawa ajaran Hindu-Budha masih melekat sebagian masyarakat masih berkeyakinan terhadap tradisi atau sistem-sistem budaya masyarakat tradisional.Â
Orang yang melangar tradisi, berarti keluar dari sistem-sistem yang ada. Petangan Jawa (hitungan Jawa) sudah ada sejak dahulu, merupakan catatan dari leluhur berdasarkan pengalaman baik buruk yang dicatat  dan dihimpun dalam Primbon.Â
Hubungan ini diturunkan dari generasi kegenerasi penerusnya. Pada hakikatnya  Primbon tidak merupakan hal yang mutlak kebenarnya, namun sedikitnya patut menjadi perhatian sebagai jalan mencapai keselamatan dan kesejahteraan hidup lahir-batin. Primbon sebagai pedoman pengalaman leluhur untuk memberikan kehati-hatian  akan lambang dan watak seseorang.
Masyarakat sangat mempercayai mitos sehingga hal tersebut menyebabkan mereka takut untuk melaksanakan pernikahan pada bulan Muharram (Suro), masyarakat percaya terhadap mitos sebagian menjelaskan bahwa pada zaman dahulu, pihak kerajaan mengeluarkan maklumat yang isinya menetapkan bahwa pada bulan Suro adalah bulan larangan untuk melakukan hajatan dikalangan masyarakat.Â
Dalam ketetapan tersebut serta ancaman bahwa barang siapa melanggar maklumat atau larangan tersebut akan terkena bala alias akan mengalami celaka.Â
Keputusan ini ditenggarai bahwa pihak kerajaan tidak inggin masyarakat tidak mengikuti upacara ritual di kraton hanya karena menikahkan anaknya.Â
Kebanyakan masyarakat sebatas ikut-ikutan (mengekor) sesuai tradisi yang biasa berjalan di suatu tempat, keyakinan tersebut mereka dapatkan dari para pendahulu atau sesepuh yang terus menerus diwariskan kepada generasi setelahnya.Â
Pengaruh animisme dan dinamisme adalah salah satu penyebab ketakutan mereka sehinggga di antara masyarakat takut terkena musibah dan celaka jika melaksanakan pernikahan  pada bulan Muharram (Suro) atas dasar kekeluargaan. Pada dasarnya mereka tahu pernikahan yang syar'i dan tidak mempercayai mitos tersebut namun mereka menjaga perasaan masyarakat yang lain (pekewoh) supaya tidak dijadikan bahan gunjingan dan dikucilkan.
Agama Islam menjelaskan pada dasarnya semua hari adalah baik untuk melaksanakan pernikahan. Allah tidak menjadikan hari yang sial diantara hari-harinya, bukanlah kesalahan hari, melainkan karena kekhilafan atau tidak ada persetujuan dari orang yang melakukan pekawinan itu sendiri.Â
Di dalam syari'at Islam tidak ada nash secara khusus baik Al-Qur'an mau pun Hadis yang menentukan hari tertentu sebagai hari yang disyari'atkan dalam pernikahan, dan tidak ada nash yang melarang pada hari atau bulan apa untuk melaksanakan pernikahan, untuk hal-hal yang seperti ini disarankan kepada masing-masing masyarakat yang mempunyai hajat yang akan melaksanakan.Â
Akan tetapi dalam menentukan hari, bulan, dengan dasar hitungan Jawa atau Primbon, atau yang lainnya, maka hal itu tidak dibenarkan dan syari'at Islam.Â
Ajaran agama Islam tidak memerintahkan atau pun suatu larangan tentang weton, hari, dan bulan untuk menentukan memilih jodoh atau pun melaksanakan pernikahan, jadi dapat disimpulkan dari ajaran agama Islam, bahwa perikahan itu tidak harus menentukan weton, hari dan bulan untuk melaksanakan pernikahan.Â
Mengenai larangan nikah di bulan Muharram sebenarnya banyank yang mengatakan bahwa melaksanakan pernikahan pada bulan Muharram itu sebenarnya boleh-boleh saja, karena tidak ada aturan yang mengenai larangan-larangan nikah di bulan Muharram baik itu di dalam Hukum Islam. Dan mereka berpendapat bahwa kejadian yang tidak diingginkan atau musibah yang akan didapat itu sudah kehendak Allah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H