Mohon tunggu...
Luqman Fahd
Luqman Fahd Mohon Tunggu... -

Belajar menjadi travel writer. Pencari beasiswa pertukaran pelajar. Pecinta traveling dan kuliner.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

First Day at School (Part 5)

15 April 2016   20:58 Diperbarui: 15 April 2016   21:06 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Albany Senior High School (Sumber: www.albanyshs.com.au)"][/caption]Hari Senin, 16 September 2013, selain aku beli adaptor untuk nge-charge HP di ceritaku sebelumnya, adalah hari pertama aku masuk sekolah di Albany Senior High School. Gimana ya, rasanya sekolah di Australia? Ikuti ceritaku kali ini, ya!

            Pagi itu, aku bangun pukul 06.30. Aku buka gorden. Matahari mulai terbit dengan malu-malu, langit berwarna semburat merah keungu-unguan seolah-olah enggan berpisah dengan malam. Tetapi, ternyata, pagi itu aku yang pertama kali bangun. Kim, Nat, Ryan, Samantha, dan Tyler masih tidur.

            Buru-buru aku salat subuh, lalu aku keluar kamar.

            “Good morning, Luqman,” sapa Nat. Beliau yang pertama kali keluar.

            “Good morning,” jawabku.

            Aku bersiap-siap berangkat ke sekolah, mandi, sarapan, dan lain-lain. Hari ini aku mengenakan seragam putih abu-abu dengan jas almamater.

            Hari ini—dan hari-hari selanjutnya—aku tidak sarapan dengan nasi, melainkan dengan sereal. Aku masih ingat, mereknya Weet-Bix. Weet-Bix ini sereal gandum utuh, bentuknya blok begitu, jadi tinggal dicampur dengan susu. Samantha dan Tyler semangat banget makannya, mungkin ini sereal kesukaan mereka.

            Seperti kebiasaanku di Indonesia, aku juga membawa bekal ke sekolah. Kalau biasanya aku bawa roti untuk bekal di sekolah, di Australia aku juga bawa roti! Bedanya, yang aku bawa hari ini—dan hari-hari selanjutnya—adalah roti gandum utuh buatan sendiri, diisi dengan filet ayam dan keju parmesan. Parmigiano-reggiano!

            Kegiatan belajar-mengajar di sekolah dimulai pukul 08.45 dan selesai pukul 15.00. Tetapi, host-ku mengajak aku berangkat sekolah ketika waktunya udah mepet.

            “Nanti kita juga naik bus sekolah. Ryan bakal ngasih kamu uang buat bayar busnya,” kata Nat.

            Kemudian, Ryan memberiku uang sebesar $1.10. “Ini, ya, uang buat bayar busmu hari ini,” kata Ryan.

            Lalu, aku, Ryan, Samantha, dan Tyler berangkat sekolah bersama. Samantha, waktu itu kalau tidak salah dia berumur 10 tahun, jadi kira-kira dia kelas 4 SD. Aku lupa umur Tyler, kalau tidak salah dia setahun atau dua tahun lebih muda dari Samantha. Walaupun demikian, sekolah Samantha dan Tyler serta aku dan Ryan berada dalam satu kompleks yang sama, jadi kami bisa berangkat sekolah bersama.

            Sebelum mencapai halte bus terdekat, Ryan memilihkan rute offroad, rute dari jalan aspal lalu berganti dengan menerabas kebun, pepohonan, dan aliran air kecil. Ini jalan pintasnya, kata Ryan. Kami juga melewati sebuah gudang yang tampaknya tidak terpakai. Tidak jauh dari gudang tersebut, tampaklah sebuah halte bus di depan Yakamia Elementary School. Yakamia adalah nama kawasan tempat aku tinggal di Albany. Di depan sekolah tampak seorang petugas yang mengatur lalu lintas supaya para siswa dapat menyeberang jalan dengan aman.

            Pemandangan pertama yang aku lihat adalah anak sekolah, kebanyakan dari ASHS, bisa dilihat dari seragamnya yang berwarna hijau dan emas, sedang mengantre untuk naik bus. Namun, ternyata model seragamnya berbeda dengan di Indonesia, bahkan sesama anak ASHS pun model seragamnya berbeda-beda pada hari tersebut. Ada yang mengenakan kaus polo shirt warna hijau berlambang ASHS dengan celana pendek warna hitam (kebanyakan siswa laki-laki dan perempuan mengenakan model seragam ini), ada juga yang mengenakan jaket parasit warna putih bertuliskan nama ekskul mereka, contohnya “ASHS Hockey”, ada juga yang mengenakan kaus polo shirt berwarna putih berlambang ASHS dengan celana pendek warna hitam. Para siswa mengantre sambil bercanda dengan temannya. Tak lama kemudian, bus sekolah pun datang. Bus sekolah di Albany kurang lebih sama dengan bus umum di kota tersebut, hanya saja khusus mengantar anak sekolah.

            Sepuluh menit kemudian, sampailah kami di ASHS. ASHS ini ternyata gede banget, sekolahku sepertinya bukan apa-apanya. Aku pun berpisah dengan Ryan, Samantha, dan Tyler dan bertemu dengan teman-teman sesama peserta sister school.

            Acara pertama, para peserta sister school dikumpulkan di aula. Tampak di sana ada kepala sekolah kami, Pak Maman, dua guru pembimbing kami, Miss Susar dan Miss Lucy, serta kepala sekolah ASHS, Dr Havel dan guru pembimbing kami dari ASHS, Miss Kate. Di dalam aula juga ada host kami masing-masing. Aku melihat Ryan ada di sana. Para siswa sister school yang berjumlah 23 orang dibagi menjadi beberapa kelompok dengan jadwal pelajaran yang berbeda-beda. Aku dikelompokkan bersama Angga, Marsha, dan Visia. Setelah orientasi, kami diajak berkeliling ASHS oleh host kami. Satu setengah jam kemudian, acara orientasi selesai dan kami harus masuk ke kelas untuk memulai pelajaran pertama.

            Pelajaran pertamaku adalah Matematika. Rasanya deg-degan, gimana ya kalau misalnya aku nggak bisa ngerjain soal? Kan malu-maluin! Kami sempat kesulitan mencari di mana kelas Matematika yang diadakan di ruang 4. Setelah bertanya kepada siswa yang sedang lewat, akhirnya ketemu juga kelasnya.

            “Excuse me, Miss,” ujar kami memohon izin untuk masuk kelas.

            “Oh, sure! Welcome!” ujar Mrs Poole, guru Matematika di kelas tersebut.

            Kemudian Mrs Poole memperkenalkan kami kepada para siswa di kelas tersebut. Menurut jadwal, kelas tersebut berisi siswa kelas 10. Setelah itu, kami dipersilakan duduk. Kami memperhatikan Mrs Poole yang sedang menerangkan materi. Lalu kami sadar bahwa materi yang sedang diajarkan adalah aljabar yang sangat sederhana, materi yang kalau di Indonesia diajarkan di kelas 7 SMP! Tak lama kemudian, Mrs Poole memberikan kami selembar soal untuk dikerjakan. Tidak sampai 10 menit, kami sudah selesai mengerjakan soal, saat siswa ASHS yang lain tampaknya masih bingung mengerjakan soal tersebut. Hehehe.

            Kemudian, kelompok kami berpindah ke kelas Bahasa Inggris di ruang T2. Di sekeliling ruang T2 ada taman, rasanya sejuk sekali, apalagi desain ruang kelasnya cukup terbuka, jadi semilir angin di luar bisa masuk ke dalam ruang kelas.

            “Excuse me, Miss,” ujar kami memohon izin untuk masuk kelas.

            “Welcome!” ujar Mrs McTavish, guru Bahasa Inggris di kelas tersebut.

            Kami diberikan lembar soal, isinya cerita semacam recount atau narrative. Panjang ceritanya hampir sama dengan soal TOEFL..... Sebetulnya pertanyaannya mudah, namun kami harus mencari kata kunci di dalam cerita yang membuatnya lebih sulit untuk dikerjakan. Ditambah semilir angin dari luar, membuatku mengantuk, hehehe. Kemudian, kami memutuskan untuk izin keluar. Kami menuju perpustakaan.

            Perpustakaannya besar dengan koleksi buku yang lengkap. Ada juga tenda stand kecil, isinya seragam prefek ASHS dan koran hari ini. Di dalam tenda stand itu ada kursi bean bag dan bantal-bantal, membuat kami nyaman berada di situ.

            Namun, ketika aku melihat penjaganya, penjaganya selalu memakai pakaian hitam, tata riasnya juga hitam. Di atas mejanya ada piramida hitam. Menurutku, kesannya sangat gotik. Aku kadang-kadang ngeri kalau melihat dia, hehehe.

            Pelajaran selanjutnya adalah Seni! Wah, bisa santai, nih, pikirku. Kami pun masuk ke ruangan VA2. Ruangan tersebut benar-benar seperti laboratorium seni dengan peralatan yang cukup lengkap.

            Pelajaran Seni diampu oleh Mrs O’Doherty, orangnya sangat ramah. Beliau juga sangat antusias delam mengajar, membawa energi positif ke dalam ruangan. Aku tidak ngantuk lagi, malah aku sangat antusias mengikuti pelajaran Seni ini, hehehe.

            Pertama, kami diminta menggambar lukisan wajah diri sendiri. Setelah selesai menggambar lukisan wajah diri sendiri, Mrs O’Doherty mengajak kami berlanjut ke tugas berikutnya.

            Di atas meja, Mrs O’Doherty menyediakan buku foto berisi fauna Australia. Beliau juga menyediakan kertas kado bermotif khas Aborigin dan jaring-jaring kain. Tugas kami adalah meniru gambar fauna tersebut, digunting, lalu ditempelkan di atas kertas karton tebal. Karton tebal tersebut sebelumnya boleh dihias dengan kertas kado bermotif khas Aborigin dan jaring-jaring kain. Mrs O’Doherty benar-benar membebaskan kami dalam berkreativitas. Beliau juga tidak segan-segan membantu siswa apabila mengalami kesulitan.

            Hasil karya kami, baik lukisan maupun karton tebal dengan gambar fauna Australia, tidak dikumpulkan, boleh kami bawa pulang ke rumah. Terima kasih Mrs O’Doherty!

            Sepulang sekolah, aku kembali bertemu dengan Ryan, Samantha, dan Tyler. Kami naik bus untuk pulang ke rumah, dan melalui rute offroad tadi. Tak lama kemudian, sampailah kami di rumah. Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, kami dapat sampai di rumah kembali dengan selamat.

            Ini masih hari pertama. Bagaimana dengan hari-hari berikutnya? Ikuti kisah selanjutnya, ya![caption caption="Hasil karya di pelajaran Seni yang diampu Mrs O'Doherty"]

[/caption]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun