Malam kelam di ujung batas peraduan,
Ia yang sedari sore menahan haru,
harus kecewa karena kenyataan.
Sunyi menyayat batin yang kian rapuh,
sementara gulita erat memeluk tulang renta.
Gelap ini lebih sunyi dari sebelumnya,
kala hilang, tutur rayu syahdu sang wanita.
Entah mengapa kepala terasa penuh namun hati begitu sepi.
Waktu perayaan tangis masih mengiringi.
Kosong, hanya terdengar waktu melolong, berjalan sembari menyeret kejam kenangan.
Ia enggan berhenti, untuk sejenak memberi sedikit jeda.
Ia tetap berjalan tunduk pada takdir,Â
Ketika yang hidup harus mengubur jasad yang tak akan lagi hadir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H