Minggu lalu saya mendapat pekerjaan untuk ber-stand-up di acara peluncurn logo gerakan "Aku Cinta Film Indonesia". Acara tersebut diselenggarakan oleh kementerian pariwisata dan ekonomi kreatif Indonesia. Panitia mewanti-wanti saya untuk membuat materi yang berhubungan dengan perfilman Indonesia. Konon yang datang dirjen kemenparekref... singkatan ini terdengar sangat aneh di telnga saya.
Begitu mendengar perfilman indonesia saya langsung kebayang fim horor, dan saya yakin saya tidak sendiri. Di bioskop-bioskop Indonesia banyak berseliweran film-film horor yang semakin hari judulnya semakin absurd. Terakhir saya mendengar film berjudul "Hantu Budeg", biasanya hantu itu ciri-cirinya kelihatan biar bisa dibayangkan dan membuat orang yag membayangkan takut misalnya, hantu tanpa kepala, hantu muka rata, hantu gepeng, hantu kaki tiga, hantu pocong. Saya tidak bisa mengerti apa kah tuna rungu bisa menjadi nilai lebih di dunia perhantuan.
Hantu Budeg, "hihihihihih... mau lari ke mana kau?"
Orang ketakutan, "Aaaah takuuut... ngeriii"
Hantu Budeg,"apa? aku geli?"
Orang (yang tadinya) ketakutan, "hah? geli gimana maksudnya?"
Untuk menggali dan mencari bahan, saya ngobrol dengan temen saya Jiban, dia adalah penggemar film sejati. Dia sangat menyukai film-film Disney kata dia film bisa merubah peradaban dunia, saya setuju itu.
Hari itu dia bercerita bahwa dia pernah menonton salah satu film horor Indonesia, dia bilang, "Film horor indonesia itu insulting" dia menerangkan betapa logika kita dilecehkan ketika menonton film Horor indonesia. Ceritanya nggak nyambung dan selalu itu-itu saja, ada cewe perpenampilan seksi di kejar hantu, selebihnya tinggal diganti-ganti nama hantunya dan ditambah tokoh yang berperan sebagai teman wanita seksi tadi, biasanya tingkahnya super bloon atau kebanci-bancian, jadilah film horor.
Dulu tahun 90-an film bertema seks mendominasi bioskop-bioskop Indonesia entah apa yang membuat era itu berakhir. Yang saya ingat setelah Inneke Koesherawati memutuskan memakai jilbab, sehabis itu film bertema seks mulai berkurang. Kalau gitu apakah kita harus menunggu kuntilanak pake jilbab dulu? atau pocong pake baju gamis? supaya film horor indonesia berkurang.
Dari diskusi saya dengan Jiban muncul sebuah analisa, Kalau film dari barat banyak terinspirasi dari cerita-cerita jaman dulu yang dikarang para menulis di negara mereka, biasanya tentang pangeran-pangeran yang berjuang menjemput impiannya. Pangeran ini biasanya pergi ke gunung melawan naga untuk membebaskan sang putri. Sang putri dan pangeran hidup bahagia "...And They Lived Happily Ever After" Begitu kira-kira kalimat yang tertulis di setiap akhir cerita mereka.
Lalu kita coba lihat cerita-cerita rakyat indonesia. Malin Kundang anak durhaka yang kaya-raya dan berakhir dengan dikutuk jadi batu, Jaka Tarub pemuda pengintip orang mandi dan menikah namun berakhir dengan istrinya pergi ke kahayangan meninggalkan bayi yang menangis menjerit-jerit, Sangkuriang pemuda yang naksir ibunya sendiri dan berjuang keras mendapat cinta yang aneh itu yang berakhir dengan kemarahan dan menendang perahu menjadi gunung, Bandung Bondowoso pemuda yang gagal membuat candi untuk wanita yang dicintainya. Kebanyakan isinya anak durhaka, dan orang-orang yang gagal meraih cita-cita. Bahkan waktu saya kecil, tokoh yang menjadi idola anak-anak indonesia adalah si kancil yang cerdik cenderung licik dan kerjaannya selalu mencuri dan mencuri dari pak tani pula. Contoh macam apa ini sebenernya.
Saya jadi berfikir tidak hanya di film di kehidupan kita juga minim teladan dari pendahulu kita, Di luar negeri, silakan di-googling, banyak sekali ditemukan quote atau kutipan yang diucapkan oleh tokoh-tokoh pendahulu mereka misalnya, Napoleon Bonaparte pernah bilang"Impossible is a word to be found only in the dictionary of fools." keren kan?
Pikiran saya jadi melayang mambayangkan waktu saya masih duduk di bangku sekolah. Ketika pelajaran sejarah, di dalam pelajaran sejarah yang saya peroleh, tidak ada yang mengajarkan tentang nilai-nilai atau buah pikiran tokoh-tokoh pahlawan kita terutama sebelum jaman kemerdekaan.. kaya Pangeran Diponegoro misalnya, atau Pattimura, Sentot Alibasyah saya tidak pernah menemukan kutipan yang diucapkan oleh beliau-beliau ini. Padahal sebagai pemimpin perang saya yakin beliau mempunyai pemikiran cemerlang atau minimal kata-kata yang menginspirasi yang dia gunakan untuk membangkitkan semangat pasukannya ketika menghadapi penjajah.
Alih-alih disuruh mencari dan mempelajari kutipan pahlawan jaman dulu, Dalam pelajaran sejarah setiap ujian saya kebanyakan menghafal berbagai tahun dan peristiwa peperangan. Dan parahnya hampir semua peperangan yang terjadi kalau bukan perang saudara, korban adu domba atau perang melawan penjajah yang biasanya berakhir dengan kekalahan karena dicurangi. Saya jadi bertanya apakah ini yang menyebabkan bangsa kita menjadi bangsa yang seperti sekarang ini? negara tanpa teladan. Mudah-mudahan pelajaran sejarah anak-anak sekarang nggak kaya gitu lagi.
&&&&&
Kembali lagi ke film, dalam diskusi saya dengan Jiban, saya membandingkan film kita dengan film luar negeri karena pada kenyataannya bioskop kita banyak didominasi film luar negeri. Beberapa film hollywood yang diputar dibioskop, biasanya akan diikuti dengan dijualnya cindera mata yang berhubungan dengan film tersebut. Misalnya film trensformer, batman, spider-man ketika film-film ini diputar di bioskop maka cindera matanya banyak dijual di toko-toko mainan anak-anak.
Saya membayangkan kalau toko-toko tersebut menjual cindera mata dari film-film indonesia maka toko tersebut akan berubah menjadi toko perlengkapan dukun. Ada tulisannya "dijual, boneka pocong, boneka kuntilanak, boneka suster ngesot." Salah satu pegawai toko mungkin akan menawarkan mainannya.
"Suster ngesotnya kakak... buat adiknya di rumah, silakan kakak dilihat-lihat dulu ini pocongnya bisa ngomong lho, matanya juga bisa nyala"
"Harus pake batre ya nyalainnya?"
"Oh ini nggak pake batre, kak. Semua mainan disini pake kemenyan, lengkap dengan mantranya"
&&&&
Lumayan hasil dari diskusi dengan teman saya jiban saya mendapatkan insight tentang film-film indonesia. Dalam perjalanan pulang kami mengobrol sedikit tentang perilaku penonton bioskop di Indonesia dan beberapa kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah tentang perfilman indonesia. Sip! Begitu sampai rumah nanti tinggal cari data supaya lebih akurat dan nggak mengada-ada, lalu dipoles untuk disusun jadi satu set naskah buat pertunjukan saya nanti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H