Hai selamat malam :D kali ini bahas yang (agak) serius ya (tumben hahaha) :D
Jadi lagi rame-rame nya nih kisruh DPT nya KPU dan E-KTP nya Mendagri. Hingga muncul tudingan-tudingan KPU dan Kemendagri tidak akur, E-KTP gagal, dan sebagainya dan sebagainya. Tunggu sebentar, sebelum lebih jauh, sebenarnya DPT itu apa sih? Dan bagaimana cara menyusunnya?
DPT itu adalah Daftar Pemilih Tetap yang biasanya digunakan di pemilu atau pemilukada. Jadi di DPT ini dituliskan siapa-siapa saja yang berhak memilih di TPS mana. Semacam daftar peserta kelas kalau di perkuliahan. Nama kamu tidak terdaftar di sana, ya siap-siap saja tidak dapat nilai untuk mata kuliah tersebut (walaupun sudah mengikuti kelas dengan sepenuh hati). Sama, jika nama kita tidak ada di DPT berarti kita tidak bisa memilih di pemilu/pemilukada itu. Walaupun ada peraturan jika misalnya kita sudah sepenuh hati ke TPS tapi nama kita tidak ada di DPT, bisa memilih dengan beberapa persyaratan.
Nah, menyusun DPT nya bagaimana? Kan DPT tidak mungkin ujug-ujug datang dari langit. Ada tata cara menyusunnya. Seperti tertera di Peraturan KPU nomor 09 tahun 2013 tentang penyusunan daftar pemilih untuk pemilihan umum anggota dewan perwakilan rakyat, dewan perwakilan daerah, dan dewan perwakilan rakyat daerah (silakan baca sendiri jika ingin, file nya ada di website KPU, www.kpu.go.id), yang telah saya rangkum sedemikian rupa, kira-kira prosesnya seperti ini:
1. Pemerintah (Kemendagri dan Kemenlu) memberikan data kepada KPU berupa DP4. Apa itu DP4? DP4 itu adalah Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu. DP4 disusun berdasarkan data kependudukan yang dimiliki oleh lembaga bersangkutan, tentu saja yang telah memenuhi syarat untuk menjadi pemilih. Nah dalam hal ini, kemendagri menggunakan data e-KTP untuk DP4 nya.
2. KPU kemudian membandingkan DP4 itu dengan DPT terakhir yang dimiliki (mungkin kalau DPT terakhir ini masing-masing bervariasi ya, tergantung pemilu apa yang terakhir dihadapi). Dari sana diperoleh sebuah daftar, namanya Model A (sebut saja begitu, ga ada istilah kerennya :p )
3. Model A ini lah yang nanti disebarkan ke tingkat provinsi, kabupaten/kota, dan seterusnya sampai ada yang namanya Pantarlih (Panitia Pemutakhiran Data Pemilih, CMIIW). Pantarlih ini dibentuk berdasarkan jumlah TPS pada suatu Desa/Kelurahan. Nah jumlah TPS nya itu dikira-kira dari jumlah Model A tadi, oleh KPU Kabupaten/Kota. FYI, satu TPS dalam pemilu 2014 berisi maksimal 500 orang.
4. Nah, pantarlih ini yang meng-update data model A yang tadi diberi oleh panitia tingkat kelurahan/desa menjadi data yang mutakhir dan menjadi DPS (daftar pemilih sementara). Nah kenapa data ini harus di-update? Nanti kita bahas di bagian selanjutnya ya :D
5. Setelah DPS selesai, lalu akan disahkan oleh KPU, kemudian ada kesempatan memperbaikinya, sampai menjadi DPSHP (Daftar Pemilih Sementara Hasil Perbaikan), lalu setelah ditambah dengan DPTb (Daftar Pemilih Tambahan), jadilah DPT (Daftar Pemilih Tetap).
Nah ternyata persoalan nya ada di DPT ini. Menurut orang-orang, banyak kesalahan data pada DPT. Mulai dari ada orang yang tidak memiliki NIK, data yang ganda, dan lain-lain. Orang-orang pun menuding kesalahan ini disebabkan oleh data e-KTP yang diberikan oleh Kemendagri. Kalau menurut saya, tudingan ini tidak sepenuhnya benar, tetapi tidak sepenuhnya salah pula.
Mengapa tidak sepenuhnya salah? Memang ada benarnya, data e-KTP itu tidak 100% akurat mengenai keadaan terakhir orang-orang kita. Kan ada yang sudah pindah rumah ke tempat lain, ada yang sudah meninggal dunia, ada yang sudah menikah dan belum 17 tahun, dan lain-lain. Nah inilah mengapa pemutakhiran data di poin 4 dan 5 diperlukan. Agar data tersebut menjadi akurat tentunya. Selain itu tentu saja ada masyarakat yang belum terdaftar e-KTP tetapi sudah memenuhi syarat menjadi pemilih. Misalnya, orang-orang yang berada di pedalaman. Percaya atau tidak, di Jawa Barat saja, masih ada orang yang bahkan tidak tahu umurnya berapa (bingung kan tuh? Petugas akhirnya menebak-nebak saja :p ). Bahkan ada yang tidak tahu nama aslinya siapa (hanya tahu nama panggilannya Udin, misalnya). Itu di Jawa Barat. Belum lagi di pelosok Indonesia lain.