Keberpihakan Agama
Di sini, agaknya keterlibatan dan keberpihakan Agama seolah masih menemui jalan terjal; ceramah-ceramahnya kalau tidak identik dengan aktivitas ibadah yang sifatnya ritual dan simbol-simbol non-substansial, maksimal digunakan menguji loyalitas terhadap negara total. Narasi besar dan pedoman buku Moderasi Beragama seolah lebih berkutat pada pentingnya komitmen kebangsaan tebar toleransi. Sangat sedikit menyentuh ekologi, kata Fahri dan Zainuri dalam kajiannya, "Moderasi Beragama Di Indonesia."
Kepedulian ruang ekologi sepertinya bukan tema signifikan. Diskusi soal ekologi lebih sering ditinggalkan. Malah kadang ditanggalkan. Tidak tahu apakah adu sentimen primordial lebih "menjanjikan". Keterlibatan elit Agama dalam olah lingkungan pada muaranya dipertanyakan. Padahal komitmen kebangsaan era pandemi dan new normal belakangan, diuji sejatinya bukan hanya ikrar setia ketaatan baik verbal atau di atas secarik kertas berbubuh tanda tangan, tapi juga dengan bukti otentik keterlibatan yang relevan.
Persoalan Ekologi kini mungkin bukan hanya menjadi salah satu momentum untuk mengarahkan fokus aktivisme civil society keagamaan ke depan, tapi sebagai trigger, juga penting menghadirkan jembatan titik temu antar aktor keagamaan; bagaimana mereka ringan tangan terlibat secara kolaboratif dalam menjaga dan mengembangkan tata kelola ekologi di wilayahnya masing-masing.
Tentu ini tidak untuk menguji komitmen organisasi keagamaan, tapi lebih pada bagaimana membangun relasi kontributif dengan melakukan upaya-upaya bersama untuk menghadapi hari-hari ke depan yang mungkin akan cukup melelahkan terutama terkait "politik ekologi".
Sambil tetap mengantisipasi dan memahami polarisasi yang sering dibedah Drone Emprit-nya mas Ismail Fahmy (https://pers.droneemprit.id/), yang barangkali akan muncul beberapa hari ke depan ini. Misalkan, narasi berulang gaslighting yang manipulatif itu; tuduhan 'korban disinformasi' atau 'korban profokasi' terhadap duduk persoalan padahal penuduh juga bisa jadi tidak lebih memahami. Atau teknis strawman fallacy yang distortif itu; mengambil argumen orang, memutarbalikkannya, lalu mengritik distorsinya. Atau toxic positivity; masyarakat dipaksa berpikir positif bahwa kondisinya "tenang dan damai" saat faktanya ada banyak tekanan.
Memang, penyelenggara negara jauh lebih bermartabat bila melakukan kontrol narasi thanking, regretting, dan apologizing, daripada mengedepankan praising, consoling, dan blaming.
Politik Ekologi: Cara Pandang Alternatif
Dalam pandangan umum, pengelolaan lingkungan sejatinya bukan hanya mengatur lingkungan sekitar, namun juga mengendalikan berbagai kegiatan manusia dalam mempertimbangkan faktor ekologis. Sehingga, pengelola dan yang dikelola adalah manusia. (Beale 1980) Akan tetapi "politik ekologi" berada pada posisi yang berbeda.
Pisau bedah ini menegaskan bahwa persoalan lingkungan dan berbagai mata rantai ketidakteraturan alam tidak melulu kesalahannya ditimpakan dan diarahkan kepada masyarakat sebagai aktor utama. Justru pada perilaku kuasalah kewajiban itu bertumpu. Tidak berkutat pada kewajiban memberi edukasi, kemitraan, kolaborasi, atau insentif, yang kesemuanya adalah bentuk dari keterlibatan dan kehadiran aktor kepemerintahan, tapi juga memastikan kegiatan dan sinergitas itu berjalan continue dan simultan.
Diantara frame populer dari politik ekologi adalah lebih mengarahkan analisanya terhadap bahwa persoalan lingkungan di tengah masyarakat sebenarnya tidak serta merta disebabkan oleh persoalan internal masyarakat itu sendiri tapi lebih dominan karena faktor eksternal yang sifatnya makro; tekanan politik dan ekonomi.(Arifin 2012) Politik Ekologi hadir sebagai pendekatan yang meneropong problem lingkungan sebagai masalah struktural dan material. Cara pandang politicized environment menggeser cara pandang ke arah bahwa permasalahan lingkungan tidak lepas dari tekanan politik dan ekonomi. (Herdiansyah n.d.)