Mohon tunggu...
Luqman Rico Khashogi
Luqman Rico Khashogi Mohon Tunggu... Penulis - Pengembara Ilmu

Pembelajar, Peneliti, Penulis, dan Pemerhati

Selanjutnya

Tutup

Politik

Gerakan Mahasiswa, Legislasi, dan Legitimasi

11 April 2022   06:20 Diperbarui: 11 April 2022   06:26 726
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jenakanya panggung politik di sosial media kemudian seakan diambil alih para Komika muda dengan sarkasme politiknya. Luapan emosi di kemudian hari seolah bisa menjaga jarak dari delik karena berada di ruang komedi. Di sini, public trust diuji.

Masih Strawman Fallacy?

Dalam kurun waktu ini, keikutsertaan pasukan cyber atau buzzer yang mengolah wacana publik sepertinya menjadi tren. Terlihat cenderung bergerak sistematis, masif, dan terstruktur. Kira-kira begitu kalau kita ikuti pemetaan Drone Emprit dengan Social Network Analysis (SNA)-nya itu. (https://pers.droneemprit.id/)

Baru-baru ini, uraian bernas Ismail Fahmy soal konstelasi dua tagar besar; #MahasiswaBergerak dan #SayaBersamaJokowi nampaknya tidak hanya menarik karena dapat membuka sedikit peta di sosial media soal Gerakan Mahasiswa, tapi mungkin juga menjengkelkan bagi yang kerap mengutamakan sentimen. Pendek kata; siapa menunggangi dan siapa ditunggangi sepertinya bisa terlihat.

Menggagalkan apalagi mengintidasi suara dan aspirasi mahasiswa dengan palu godam "ditunggangi oknum", "disusupi radikalisme", dan "pandemi", alih-alih menguatkan legitimasi, yang terjadi justru malah dapat berdampak pada menelanjangi timpangnya keadilan sosial. Tapi bisa jadi strategi distorsi straw man akan tetap menjadi bagian yang ampuh untuk dimainkan hari-hari ke depan. Kalau tidak sampai menjatuhkan lawan, minimal bisa cuci tangan.

Memori dan Emosi

Memang kini di berbagai daerah, wacana penundaan Pemilu benar-benar sedang menjadi salah satu fokus utama para Mahasiswa, selain isu kenaikan bahan pangan, ibu kota negara, maraknya intimidasi, dan problem agraria. Tidak tahu juga apakah ini akumulasi dari buruknya komunikasi politik internal kabinet.

Yang pasti memang terlihat ada frustasi yang sulit ditahan karena tidak sedikit berpandangan makin menguatnya oligarki, diktator konstitusional, neo-otoritarianisme dan kocaknya kuasa membangun legitimasi. Mungkin mereka menganggap bahwa sistem ketatanegaraan kita seperti terkoyak hebat, tapi sepi senyap seolah terlelap.

Mungkin juga mahasiswa tidak ingin kecolongan berulang seperti UU MD3, UU KPK, UU Minerba, UU MK, UU Cipta Kerja atau UU Ibu Kota Negara. Seakan-akan mahasiswa ini sedang memahami algoritma penyelenggara negara yang bisa jadi lantang menolak penundaan Pemilu, tapi diam-diam merayap mendukung 3 periode.

Menimbang Alternatif

Pada akhirnya, upaya-upaya mengedepankan praising, consoling, dan blaming sepertinya tidak efektif bagi penyelenggara negara. Sebab, cideranya proses legislasi dan jenakanya nalar legitimasi dapat memicu Gerakan Mahasiswa makin menyala. Argumentasi sebaiknya tidak melulu dihadapi dengan strawman fallacy. Apalagi toxic positivity. Begitu kira-kira ritme akademisi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun