Belakangan, proses legislasi mendapat sorotan publik lantaran dianggap kurang partisipatif dan jauh dari transparansi. Beberapa diantaranya adalah UU No. 19 Tahun 2019 tentang KPK, lalu UU No. 3 Tahun 2020 tentang Minerba, ada juga UU tentang MK di tahun yang sama. Disusul UU sapu jagat; Cipta Kerja. "Seolah-olah kita enggak punya tata negara..." kata Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur (4/11/2020).Â
Akibatnya, bukan hanya banyak aspirasi tercederai tapi juga muncul banyak kekhawatiran implikasinya di ranah sosial ekonomi masyarakat. Yang terbaru, ada UU Ibu Kota Negara (IKN) yang juga kilat itu, dan dianggap menjadi rekor tercepat dalam sejarah pembuatan undang-undang.
Mahasiswa di Pusaran Legitimasi
Berat memang untuk mengatakan bahwa di tangan mahasiswalah konstitusi saat ini dapat diselamatkan, sebab hal itu jelas tak cukup. Memang, secara genealogis Gerakan Mahasiswa alih-alih mematangkan gagasan yang mendasari legitimasi kebijakan publik, yang terjadi sering dijawab dengan cara-cara yang tidak memuaskan bahkan mengecewakan; ada teror, peretasan, atau intimidasi.
Tercatat Gerakan Mahasiswa setidaknya berawal dari tahun 1908 dengan Budi Utomo, diteruskan tahun 1928 dengan Sumpah Pemuda, tahun 1945 yang mendesakan proklamasi kemerdekaan, lalu tahun 1966 dengan tumbangnya Orde Lama, kemudian tahun 1974 dengan Malari puncaknya, dan reformasi 1998 dengan tumbangnya Orde Baru.
Setelah hampir 20 tahun dianggap pulas, dengan varian berbeda, gerakan besar itu muncul menekan Rancangan KUHP dan pelemahan KPK di tahun 2019. Pelajar pun ikut turun jalan. Cara penyampaian aspirasi dan ekspresinya lebih kocak meski pada momen tertentu dihujani peretasan di tengah diskusi. Bukan hanya akademisi yang kena, pegiat anti korupsi juga.
Beringasnya, kalau melihat Laporan YLBHI dan Komnas HAM, ada lebih dari 50 korban yang meninggal saat demonstrasi di tahun ini. Ombudsman waktu itu keras mewanti-wanti aparat untuk tidak represif (2019). Tagar #ReformasiDikorupsi meledak dan menjadi eksposif. Nama Randi-Yusuf diabadikan KPK dalam auditorium.
LBH dan YLBHI mencatat peristiwa itu secara rigid (2020). Menurut KontraS yang mengevaluasi kinerja pemerintahan tahun 2018, maraknya tindakan tersebut adalah karena tersedia dan terbukanya akses impunitas terhadap penyiksaan sebagai opportunity crime, yang itu merupakan akibat dari lemahnya norma anti penyiksaan dalam peraturan perundang-undangan dan sistem kelembagaan.
Pada 2020, Mahasiswa dan juga Buruh bergolak soal Omnibus Law/ Cipta Kerja yang jumlah halamannya berubah-ubah. Menariknya, kritik mahasiswa terhadap pasal-pasal tertentu dijawab penyelenggara negara dengan pasal-pasal lain yang tidak berkaitan. Kritiknya apa, dijawabnya apa. Tidak nyambung. Terkesan ada distorsi straw man.
Tahun 2021 Pusat Kajian Antikorupsi UGM, Bung Hatta Anti Corruption Award, dan ICW menyebutnya sebagai "kemenangan besar para koruptor", karena merupakan awal mula terbukanya akses kuasa untuk menjadikan dasar pengurangan hukuman para koruptor di lingkar relasi oligarki. Pemicunya adalah dibatalkannya PP 99/2012 yang sebenarnya dibuat untuk memperketat syarat pemberian remisi bagi koruptor. Tidak ada Gerakan Mahasiswa yang berarti di sini.
Riuh radikalisme dan taliban di internal KPK pada tahun tersebut juga terlalu vulgar kalau diingat-ingat lagi. Tapi menurut pengamat Voxpol Center Research and Consulting (2021), upaya itu adalah "kartu mati" untuk menggusur pegawai yang keras memberantas korupsi. Mahasiswa mencium bau busuk pelemahan KPK. Demo dimana-mana.