Padahal, Islam yang tidak value-free sangat tidak mungkin diabaikan untuk juga digunakan dan diterapkan dalam keilmuan sosial. Perangkat keilmuan untuk melihat gerakan sosial Islam sudah barang tentu "sarat nilai", seperti halnya gerakan mereka juga mengandung nilai-nilai yang diperjuangkan.
Di sinilah menariknya Kuntowijoyo. Salah satu tokoh besar yang lahir pada 18 September 1943. Intelektual, budayawan, sastrawan, dan bahkan sejarawan. Banyak orang melihat kelebihannya dengan berbagai kesan masing-masing.Â
Menurut Kuntowijoyo, perangkat "keilmuan impor" harus bisa menunjukkan dan menjawab bukan hanya soal (1) menjelaskan fenomena sosial, tapi juga (2) memberi petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan. Selanjutnya perangkat keilmuan itu juga harus dapat secara lugas dan rasional (3) untuk apa transformasi itu diarahkan ke arah tersebut dan (4) siapa yang mengarahkan transformasi itu menuju arah tersebut.
Sebab bisa jadi ada tokoh yang mementingkan mengubah fenomena sosial, tanpa memberi petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan dan untuk apa transformasi diarahkan. Lalu lebih menarik lagi saat melihat (siapa dan bagaimana sejatinya) mereka yang mengarahkan transformasi itu.
Dari sinilah kita bisa melihat apakah perangkat keilmuan itu mempunyai atau bertentangan dengan view profetik atau tidak. Berawal dari filter ini jugalah para intelektual profetik bisa mengetahui apa motif perangkat keilmuan tersebut.Â
Setalah itu, para kaum intelektual Muslim perlu tampil ke publik untuk, bukan hanya, memberikan pembenaran atas cara kaum Muslim melihat masyarakat, tapi juga meyakinkan pada publik secara terus-menerus soal nilai-nilai kebajikan yang diperjuangkan.
Di sini pula kita dapat melihat bahwa keterlibatan umat dalam sejarah menjadi penting. Tidak pasif hanya mengamati, tapi sekaligus berdiri sebagai 'agen' untuk mengarahkan manusia ke arah yang baik dan benar. Bung Hatta juga menegaskan bahwa dalam konteks academic enterprise, Ilmu Sosial harus mengarah pada "bagaimana mestinya".
Ilmu Sosial Profetik. Demikian Kuntowijoyo dalam Islam sebagai Ilmu menegaskan soal alternatif baru dari paradigma Islam dalam kerangka ilmu sosial. Alternatif yang digali dari unsur-unsur kemanusiaan universal; humanisasi, liberasi, dan transendensi.Â
Pengembangan intelektual dalam ranah ilmu sosial menjadi urgensi. Seperti kata Ahmad Amin dalam Zu'ama al-Ishlah, bahwa pengembangan intelektual ('aql) dan spiritual (nafs) adalah pondasi dasar (muqoddimah) perbaikan generasi bangsa, adapun kondisi pemerintahan yang baik adalah hasil (natijah).
Dalam Islam Sebagai Ilmu, Kuntowijoyo menegaskan bahwa Ilmu Sosial Profetik tidak hanya "mengubah demi perubahan", tapi mengubah berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu.Â
Atau dengan kata lain, memuat kandungan cita-cita perubahan yang diidamkan masyarakatnya; (1) humanisasi, (2) liberasi, (3) dan transendensi, yang tujuan akhirnya kebaikan dunia dan akherat.