Bagi Kompasiana, tahun ini adalah hari jadinya yang ke-16. Sementara bagi saya, tahun ini adalah tahun ke-5 saya berumah di Kompasiana.
Kompasiana berhasil menepis kekhawatiran saya sebagai penulis pemula dengan memberikan syarat dan ketentuan yang cukup mudah. Kita boleh menulis apa saja, sesuai minat, pengalaman dan kemampuan. Selebihnya adalah patuhi aturan yang berlaku, seperti tidak plagiat dan menyenggol isu SARA.
Berbeda dengan platform blog lainnya, interaksi di Kompasiana terbilang seru dan insightful. Berawal dari sering blogwalking, meninggalkan penilaian dan komentar, interaksi jadi lebih akrab sampai ada yang membentuk komunitas, bahkan menulis buku bersama.
Saya termasuk Kompasianer yang beruntung karena bisa merasakan dampak positif dari interaksi ini. Berkat undangan dari Kompasianer Ruang Berbagi (Romo Bobby), saya bisa bergabung dengan Komunitas Inspirasiana pada tahun 2020 lalu. Bersama rekan-rekan lainnya, saya ikut menyumbang tulisan untuk dua buku bunga rampai yang berhasil diterbitkan oleh Komunitas Inspirasana.
Buku bunga rampai pertama berjudul Pelangi Budaya dan Insan Nusantara (2021), berisi artikel-artikel mengenai keragaman budaya dan tradisi lokal di berbagai daerah di Indonesia. Sementara yang kedua, berjudul Aksara Bemakna terbit setahun setelah bunga rampai pertama. Isinya adalah kisah-kisah pengalaman hidup, hasil pemikiran dan perenungan para penulisnya yang dituangkan dalam bentuk fiksi maupun nonfiksi.
Saya adalah orang yang percaya bahwa suatu tulisan bisa memberi manfaat atau dampak tertentu, baik bagi orang lain maupun bagi penulisnya sendiri. Itu sebabnya saya berusaha untuk senantiasa hati-hati dalam menulis.
Selama 5 tahun ber-Kompasiana, saya telah menulis 478 artikel. Jumlah yang terlampau sedikit untuk bisa dikatakan sebagai Kompasianer produktif.
Dari 478 artikel, ada tiga tulisan yang saya anggap sebagai bagian dari pencapaian kecil-kecilan saya selama 5 tahun berkarya di Kompasiana.
Pertama adalah artikel saya yang terbit pada tahun 2020 lalu tentang colorisme, istilah yang sering disamakan dengan rasisme, tetapi sebenarnya ia lebih spesifik merujuk pada diskriminasi berdasarkan warna kulit. Saya tidak tahu bagaimana ceritanya artikel itu bisa ditemukan oleh seorang mahasiswa yang lagi skripsi dan kebetulan topik skripsinya juga berkaitan dengan colorisme. Merasa relevan dengan topik skripsinya, dia pun menghubungi saya dan meminta saya jadi responden penelitiannya.
Kedua adalah artikel yang saya tulis tepat di Hari Perempuan Internasional 2022. Artikel itu berisi keresahan saya terhadap pandangan masyarakat yang masih menganggap status janda sebagai aib. Keresahan ini juga diperparah melalui media yang kerap menjadikan janda sebagai objek fantasi seksual laki-laki.