Entah sudah berapa kali kita mendengar atau menyaksikan berita tentang anak-anak korban kekerasan di sekolah. Sebagian mengantarkan korbannya pada ajal, sedangkan sebagian lainnya dipaksa hidup dengan trauma. Kekerasan dalam dunia pendidikan bukan hanya terjadi di tingkat sekolah, melainkan juga di tingkat universitas. Bahkan di tingkat pendidikan profesi pun ada perundungan, seperti yang terjadi pada dr. Aulia Risma, seorang dokter muda yang kematiannya disinyalir salah satunya akibat perundungan dari para seniornya di lingkungan akademis Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Universitas Diponegoro (Undip).
Guru yang seharusnya bisa menjadi orangtua kedua, kadang tidak mampu menjalankan tanggung jawabnya sebagai orang dewasa yang patut untuk "digugu lan ditiru". Bukannya mengambil tindakan agar jangan sampai ada siswa-siswi yang takut ke sekolah karena perundungan, guru malah melindungi, bahkan dirinya sendiri ikut menjadi pelaku. Anda ingat kan, kejadian siswa SMP di Temanggung yang membakar sekolahnya sendiri karena sakit hati dirisak teman-teman dan gurunya? Ironisnya, pihak sekolah bukannya introspeksi, meminta maaf dan bertanggung jawab, malah mengatai anak itu "caper" alias cari perhatian.
Baru-baru ini beredar video guru dan pelajar SMA berinisial P di Gorontalo yang menjadi sorotan publik. Keduanya sama-sama dikeluarkan dari sekolah karena dianggap merusak nama baik institusi. Tak sedikit orang yang menganggap hubungan keduanya adalah "suka sama suka". Sayangnya, tidak banyak yang mampu atau mau memahami bahwa di balik kasus ini ada ketimpangan relasi kuasa yang membuat P terjebak dalam relasi yang penuh manipulasi dan kekerasan.
Berkaca dari kasus-kasus yang pernah terjadi, apa yang menyebabkan budaya kekerasan di sekolah sulit dihilangkan?
Pertama, sekolah menormalisasi budaya kekerasan
Ketika ada murid melaporkan pada gurunya bahwa ia sering diejek, barang-barangnya disembunyikan atau diambil tanpa izin, rambut atau jilbab ditarik-tarik oleh teman sekelasnya, respon guru adalah "Alah gitu aja kok baper? Mereka cuma bercanda kali". Tentu saja respon seperti ini bukanlah yang diharapkan oleh si murid.
Banyak orang, termasuk dalam hal ini guru di sekolah, yang menganggap bahwa perundungan hanya sebatas kekerasan fisik. Selama murid tersebut tidak dipukul, ditendang atau dilukai tubuhnya, maka itu tidak dianggap sebagai kekerasan. Padahal kekerasan bisa hadir dalam berbagai bentuk, termasuk juga kekerasan verbal, psikologis dan seksual.
Saya pikir ada perbedaan mendasar yang---mirisnya---banyak tidak dipahami orang antara bercanda dan merisak. Candaan seharusnya membuat orang bahagia dan terhibur, bukan malah membuat harga diri dan mentalnya hancur.
Kedua, tidak ada regulasi yang jelas mengenai pencegahan dan penanganan kekerasan di sekolah
Apa yang sering dijadikan pertimbangan oleh para orangtua ketika mencarikan sekolah untuk anaknya? Jarak yang dekat dari rumah? Biaya pendidikan? Prestise sekolah? Adakah yang menjadikan respon dan cara penanganan sekolah terkait perundungan sebagai bahan pertimbangan?
Saya ingat, ada sebuah unggahan lewat di timeline Instagram saya. Saya yang luar biasa gabut, iseng baca komentar-komentar netizen setelah menyimak habis unggahan tersebut. Ada komentar dari seorang ibu yang curhat betapa sulitnya mencari sekolah yang punya cara penanganan perundungan yang tegas. Si ibu mengatakan kalau dari 10 sekolah yang disurveynya, hanya 2 sekolah yang mampu memberikan jawaban memuaskan. Komentar itu disukai oleh banyak orang dan ada juga ibu-ibu lain yang memberikan balasan dengan menceritakan pengalaman serupa.
Ya gimana mau punya regulasi yang jelas, lha wong guru-gurunya aja masih banyak yang gak paham mana yang sekadar keisengan anak-anak dan mana yang termasuk perundungan.
Ketiga, anak-anak tidak diajarkan mengenai regulasi emosi
Yang terakhir ini sebetulnya bukan hanya kesalahan dunia pendidikan kita, melainkan juga kesalahan para orangtua. Anak laki-laki diajarkan untuk tidak boleh menangis, tidak boleh takut dan harus selalu kuat. Niatnya mungkin baik, ingin agar anak laki-lakinya tumbuh jadi laki-laki yang tangguh, tegas, dan pemberani.
Namun, karena sejak kecil dia tidak pernah diajarkan untuk menerima, memvalidasi, memahami dan meregulasi emosi negatifnya, akhirnya yang terjadi adalah dia tumbuh dengan anger issue dan setiap emosi negatif diekspresikan dengan kekerasan. Jadi, jangan heran ketika si anak laki-laki kemudian tumbuh menjadi pelaku kekerasan, entah itu di sekolah atau di tempat kerja bahkan di rumah tangganya kelak ketika dia sudah dewasa.
Meski demikian, kekerasan di sekolah bisa dilakukan siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan. Toh, ada juga kan murid perempuan yang dirisak oleh sesama murid perempuan lainnya?
Budaya kekerasan di sekolah itu seperti lingkaran setan. Bahkan tak jarang diwariskan dari murid senior ke junior kemudian ke juniornya lagi, begitu saja terus sampai Metallica rilis album religi. Satu alasan konyol yang pernah saya dengar dari salah satu senior sok iye dulu waktu sekolah adalah untuk melatih mental (Melatih mental pala bapak kau!) Yang ada malah mereka terlihat bodoh dan bikin saya hilang respek.
Menghapus budaya kekerasan di sekolah memang harus dilakukan bersama-sama. Fundamentalnya harus dimulai dan diperkuat dulu dari pendidikan di rumah melalui orangtua yang mengajarkan anak pentingnya regulasi emosi, empati, dan komunikasi asertif.
Semua pihak juga harus memiliki pemahaman yang setara dan komprehensif mengenai kekerasan itu sendiri. Jika di tataran definisi saja sudah tidak nyambung antara satu sama lain, sampai kapanpun respon dan penanganan kekerasan di dunia pendidikan akan begitu-begitu saja. Dan sekolah, madrasah, pesantren, universitas atau apapun Anda menyebutnya, akan tetap jadi neraka dunia yang melestarikan luka serta trauma korban-korbannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H