Saya ingat, ada sebuah unggahan lewat di timeline Instagram saya. Saya yang luar biasa gabut, iseng baca komentar-komentar netizen setelah menyimak habis unggahan tersebut. Ada komentar dari seorang ibu yang curhat betapa sulitnya mencari sekolah yang punya cara penanganan perundungan yang tegas. Si ibu mengatakan kalau dari 10 sekolah yang disurveynya, hanya 2 sekolah yang mampu memberikan jawaban memuaskan. Komentar itu disukai oleh banyak orang dan ada juga ibu-ibu lain yang memberikan balasan dengan menceritakan pengalaman serupa.
Ya gimana mau punya regulasi yang jelas, lha wong guru-gurunya aja masih banyak yang gak paham mana yang sekadar keisengan anak-anak dan mana yang termasuk perundungan.
Ketiga, anak-anak tidak diajarkan mengenai regulasi emosi
Yang terakhir ini sebetulnya bukan hanya kesalahan dunia pendidikan kita, melainkan juga kesalahan para orangtua. Anak laki-laki diajarkan untuk tidak boleh menangis, tidak boleh takut dan harus selalu kuat. Niatnya mungkin baik, ingin agar anak laki-lakinya tumbuh jadi laki-laki yang tangguh, tegas, dan pemberani.
Namun, karena sejak kecil dia tidak pernah diajarkan untuk menerima, memvalidasi, memahami dan meregulasi emosi negatifnya, akhirnya yang terjadi adalah dia tumbuh dengan anger issue dan setiap emosi negatif diekspresikan dengan kekerasan. Jadi, jangan heran ketika si anak laki-laki kemudian tumbuh menjadi pelaku kekerasan, entah itu di sekolah atau di tempat kerja bahkan di rumah tangganya kelak ketika dia sudah dewasa.
Meski demikian, kekerasan di sekolah bisa dilakukan siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan. Toh, ada juga kan murid perempuan yang dirisak oleh sesama murid perempuan lainnya?
Budaya kekerasan di sekolah itu seperti lingkaran setan. Bahkan tak jarang diwariskan dari murid senior ke junior kemudian ke juniornya lagi, begitu saja terus sampai Metallica rilis album religi. Satu alasan konyol yang pernah saya dengar dari salah satu senior sok iye dulu waktu sekolah adalah untuk melatih mental (Melatih mental pala bapak kau!) Yang ada malah mereka terlihat bodoh dan bikin saya hilang respek.
Menghapus budaya kekerasan di sekolah memang harus dilakukan bersama-sama. Fundamentalnya harus dimulai dan diperkuat dulu dari pendidikan di rumah melalui orangtua yang mengajarkan anak pentingnya regulasi emosi, empati, dan komunikasi asertif.
Semua pihak juga harus memiliki pemahaman yang setara dan komprehensif mengenai kekerasan itu sendiri. Jika di tataran definisi saja sudah tidak nyambung antara satu sama lain, sampai kapanpun respon dan penanganan kekerasan di dunia pendidikan akan begitu-begitu saja. Dan sekolah, madrasah, pesantren, universitas atau apapun Anda menyebutnya, akan tetap jadi neraka dunia yang melestarikan luka serta trauma korban-korbannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H