Menjelang penghujung tahun 2023 lalu, publik dihebohkan dengan berita pembunuhan empat anak oleh ayah kandungnya sendiri di Jagakarsa. Diketahui bahwa sebelum membunuh empat anaknya, pelaku juga melakukan KDRT terhadap istrinya. Kondisi sang istri yang sedang dalam perawatan di rumah sakit rupanya dimanfaatkan oleh pelaku untuk menghilangkan nyawa anak-anaknya.Â
Tak hanya terjadi pada orang biasa, KDRT juga menimpa kalangan public figure ternama. Venna Melinda, Lesti Kejora sampai bintang Hollywood sekelas Johnny Depp dan Amber Heard pernah menjadi korban KDRT yang dilakukan oleh pasangan.Â
KDRT atau Kekerasan Dalam Rumah Tangga termasuk dalam kategori kekerasan di ranah personal. Menurut Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan tertanggal 7 Maret 2023, KDRT masih mendominasi jumlah pelaporan kasus kekerasan berbasis gender (KBG). Dari 339.782 pengaduan kasus KBG, sebanyak 336.804 kasus merupakan kekerasan di ranah personal. Sementara itu, lembaga nonprofit World Economic Forum mencatat bahwa setiap jam sebanyak enam perempuan tewas di tangan laki-laki. Mayoritas laki-laki tersebut adalah pasangan atau keluarga si perempuan.Â
Jumlah kasus yang tercatat saja sedemikian besar, yang tidak tercatat bisa jadi lebih besar lagi. Hal ini dikarenakan KDRT masih sering dianggap tabu dan aib sehingga korban enggan meminta tolong atau melapor ke pihak berwajib. Kondisi ini diperparah dengan adanya ancaman, dibuat ketergantungan pada pelaku sampai takut distigma negatif akibat menyandang status janda.Â
KDRT tidak hanya menyasar perempuan. Pasal 2 UU PKDRT menegaskan bahwa ruang lingkup dari undang-undang ini juga mencakup:
1.) suami, istri dan anak;
2.) orang-orang yang memiliki hubungan keluarga, baik karena darah, perkawinan persusuan, pengasuhan dan yang menetap dalam rumah tangga;
3.) orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap di dalam rumah tangga tersebut.Â
Tetangga bahkan anggota keluarga yang mengetahui kasus KDRT ini tak jarang hanya jadi bystander. Tahu tapi bersikap pura-pura tidak tahu karena menganggap bahwa KDRT adalah urusan rumah tangga masing-masing sehingga merasa tidak berhak ikut campur. Padahal anggapan ini keliru dan berbahaya.Â
KDRT memang tergolong kekerasan di ranah personal. Namun, mengingat adanya potensi bahaya yang lebih besar, siapapun yang mengetahui seharusnya berhak untuk mengintervensi.Â
Pentingnya melaporkan kasus KDRT ini juga didukung oleh Komnas Perempuan untuk mencegah terjadinya KDRT berulang dan berlapis yang berdampak lebih parah. Setidaknya ada dua alasan mengapa intervensi dalam kasus KDRT harus dilakukan.Â
Pertama, KDRT membahayakan keselamatan hidup korbanÂ
Tak sedikit kasus KDRT yang berakhir dengan kematian korbannya. Korban KDRT bukannya tidak berusaha untuk keluar dari hubungan toksik tersebut, tetapi seringkali usahanya diabaikan bahkan digagalkan.Â
Masih ingat kasus KDRT yang dialami oleh Mega Suryani Dewi di Cikarang Barat? Sebelum meninggal dibunuh suaminya, Mega pernah membuat laporan ke kepolisian, tetapi lambat ditangani.Â
Sekitar tahun 2017 silam, seorang perempuan di Bali bernama Ni Putu Kariani terbaring tak berdaya di rumah sakit setelah kakinya ditebas dengan parang oleh suami sendiri. Apakah sebelum kejadian tersebut, Putu hanya berdiam diri dan pasrah menerima kekerasan sang suami?Â
Menurut kabar yang beredar, sebelum kehilangan kakinya, Putu telah berkali-kali menerima penganiayaan, baik kecil maupun besar, selama bertahun-tahun. Sementara pihak keluarga yang mengetahui KDRT itu justru meminta Putu untuk tetap bertahan dengan harapan suaminya akan berubah.Â
Intervensi atas kasus KDRT, baik melalui prosedur hukum maupun secara sosial (baca: lewat keluarga, teman atau tetangga yang menyelamatkan korban), setidaknya dapat mencegah hal yang lebih buruk terjadi pada korban.Â
Kedua, untuk memberikan perlindungan terhadap kesehatan mental korbanÂ
KDRT tidak hanya meninggalkan luka fisik, tapi juga trauma yang menyesakkan. Selain sang istri, trauma bisa menimpa anak-anak yang sering melihat ibunya disakiti, baik secara verbal, psikis, fisik atau seksual. Bahkan tak menutup kemungkinan kalau anak-anak itu akan ikut jadi korban kekerasan ayahnya.Â
Anak-anak yang tumbuh dengan melihat atau mengalami kekerasan, tidak menutup kemungkinan ia akan menjadi pelaku kekerasan ketika dewasa. Mereka juga cenderung menjadi anak yang kurang percaya diri dan memiliki self-esteem rendah. Tentu ini tidak baik bagi perkembangan dan kesehatan mental mereka.Â
Nah, intervensi macam apa yang bisa kita lakukan ketika mengetahui ada kasus KDRT di sekitar kita?Â
Minimal, kalau ada tetangga atau orang terdekat cerita tentang KDRT yang dialaminya, kita bisa menjadi pendengar yang baik. Tidak menghakimi, tidak sok tahu dan tidak adu nasib. Ingat, tidak semua korban KDRT berani menceritakan kejadian yang dialami pada orang lain. Kalau mereka curhat pada anda, itu artinya dia menaruh kepercayaan pada anda. Tunjukkan pada korban bahwa dengan kehadiran anda, dia tidak perlu takut menghadapi masalahnya sendirian.Â
Selain butuh didengarkan, korban KDRT juga butuh tempat singgah yang aman. Entah diungsikan ke rumah orangtuanya, saudaranya, temannya atau tempat aman lainnya yang penting korban dijauhkan dari pelaku. Jangan lupa pula untuk mengevakuasi anak-anak, terlebih kalau mereka masih kecil.Â
Jika korban butuh akses ke konselor, psikolog atau layanan bantuan hukum, temani dia. Sekarang setiap orang juga bisa melaporkan kasus kekerasan pada perempuan dan anak dengan memanfaatkan layanan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) via hotline telepon ke nomor 129 atau WhatsApp ke nomor 08111-129-129.Â
Layanan SAPA sendiri merupakan revitalisasi layanan pengaduan masyarakat dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) yang dihadirkan sebagai wujud kontribusi negara terhadap perlindungan perempuan dan anak.Â
KDRT tidak sama dengan pertengkaran suami-istri. KDRT bukan kejahatan ranah privat biasa, melainkan kekerasan berbasis gender. Bentuknya bukan hanya kekerasan fisik.Â
Perselingkuhan, mengisolasi pasangan dari keluarga dan teman-temannya, menghina, penelantaran ekonomi, meski tidak menimbulkan luka fisik, tetap tergolong KDRT dan tidak bisa dianggap remeh. Berawal dari selingkuh, kekerasan verbal dan penelantaran ekonomi, lama kelamaan berkembang menjadi kekerasan fisik, bahkan berujung kematian pada korban. Â
Gunanya kita melaporkan kasus KDRT sejatinya bukan cuma untuk menghukum pelaku. Yang lebih penting dari itu adalah memberi jaminan rasa aman dan pemulihan kondisi korban sehingga korban bisa bangkit kembali dari keterpurukan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H