Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mari Menormalisasi "Men Support Women"

30 Oktober 2023   09:26 Diperbarui: 30 Oktober 2023   13:29 621
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi salah satu contoh men support women dengan mengasuh anak bersama-sumber: anete lusina from pexels

Seorang kreator digital, Nadia Atmaji Anugerah sempat berbagi pengalaman tentang dukungan suami terhadap dirinya untuk kuliah S2 di Inggris kepada Kumparan.com. Kisahnya ini juga diangkat di akun instagram @kumparancom. Unggahan inspiratif yang seharusnya ditanggapi dengan dukungan dan apresiasi, malah dibanjiri dengan komentar yang bikin geleng-geleng kepala.

"Muka ibunya incaran para bule apalagi asia waduh, tiati dah, apalagi ada kebutuhan biologis suami dan istrinya".

"Ceraiin aja istri kayak gini."

"Pulang-pulang, suaminya punya bini baru yang lebih bisa bantu urus semuanya."

Begitulah kira-kira sedikit contoh komentar-komentar wadidaw yang ditemukan di unggahan tersebut. Nadia pun merespon warganet-warganet julid tersebut melalui unggahan di akun instagramnya @nadiaatmaji dengan mengatakan bahwa suami dan orang-orang terdekat tidak ada yang mempermasalahkan keputusannya untuk melanjutkan pendidikan ke luar negeri.

Dukungan suami pun tampak dari keterlibatannya dalam mengasuh anak sembari menyempatkan diri video call dan menemani istri mengerjakan tesis sampai tengah malam. Padahal besoknya, suami harus kerja. Ketika video call pun suami Nadia sampai ketiduran di sebelah anak mereka.

Seorang warganet yang sepertinya teman beliau, berkomentar bagaimana Nadia masih menjalankan perannya sebagai ibu di sela-sela kesibukan kuliahnya. Berkomunikasi lewat video call dengan anak, menyanyi/mendongengkan cerita ketika anak mau tidur, menyusun menu makanan dan jadwal kegiatan anak dan tetap berdiskusi dengan suami tentang perkembangan anak.

Sekarang sudah 2023, tidak lama lagi 2024, kenapa sih masih ada aja manusia-manusia nir empati yang suka berkomentar jahat atas impian perempuan?

Pengalaman Nadia mengingatkan saya pada tante saya. Waktu itu beliau juga harus meninggalkan om dan sepupu saya yang masih kecil untuk kuliah S2 di Australia. Sepengetahuan saya, baik suami maupun keluarga besar tidak ada yang menghalangi niatnya untuk melanjutkan pendidikan.

Rumah tangga mereka Alhamdulillah baik-baik saja. Begitu juga dengan sepupu saya. Dia sama sekali tidak kekurangan kasih sayang, meski saat itu ibunya sedang berada di tempat yang jauh.

Ketika sudah menikah, ada kenyataan pahit yang entah disadari atau tidak, bahwa hidup perempuan bukan lagi miliknya. Jadi, ketika perempuan punya impian, impian tersebut harus dikubur dalam-dalam seiring dengan perubahan statusnya dari lajang menjadi istri orang.

Perempuan yang masih memelihara mimpinya, bahkan berusaha mewujudkan, dianggap belum selesai dengan dirinya. Pernikahan dianggap sebagai impian purna setiap perempuan sehingga seharusnya tidak perlu ada lagi pikiran untuk lanjut kuliah, mengembangkan karir, solo travelling dan sederet pencapaian personal lainnya.

Jika perempuan tetap ingin memperjuangkan impiannya, orang akan menyebutnya egois. Jika perempuan tersebut sukses mewujudkan mimpinya, pencapaiannya dianggap tidak berarti apa-apa.

Situasi yang terjadi pada Nadia dan tante saya merupakan sesuatu yang agak tidak lazim di masyarakat kita. Sesuatu yang di luar kebiasaan umum biasanya akan menuai reaksi negatif. Apabila situasi ini dibalik, pandangan miring masyarakat tidak akan dialami oleh suami. Tidak akan ada orang yang menanyainya soal apakah dia tidak takut istrinya selingkuh atau apakah dia tidak takut kehilangan momen emas bersama anak.

Berbeda sekali bukan, dengan apa yang dialami perempuan? Orang-orang yang terlalu perhatian memang suka sekali membenturkan antara masalah pengasuhan anak, pemenuhan kebutuhan biologis suami dengan keinginan untuk mewujudkan cita-cita.

Ibu rumah tangga memang beruntung karena bisa menyaksikan setiap saat pertumbuhan anak. Namun, saya yakin bahwa ibu yang baik, apapun profesi atau apapun yang dia kerjakan, pasti punya cara masing-masing dalam mengasuh dan mencintai anak-anaknya. Tugas kita sebagai sesama perempuan adalah tidak menggurui dan tidak menghakimi.

Komentar-komentar yang menjatuhkan mimpi perempuan berangkat dari pemikiran yang menempatkan perempuan sebagai pelayan suami. Itu sebabnya, ketika ada perempuan sudah bersuami dan beranak yang menempuh jalan hidup seperti Nadia, pertanyaan yang paling sering dilontarkan adalah "gak takut suami selingkuh?" dan siraman rohani mengenai tanggung jawab seorang istri.

Para perempuan yang bisa tetap meraih mimpinya saat statusnya sudah menikah, seringkali adalah mereka yang memiliki suami suportif. Suami yang memperlakukan mereka dengan setara, menghormati mereka sebagai manusia dan tidak menjadikan pernikahan sebagai pembenaran untuk mematikan cita-cita mereka. Para perempuan hebat itu juga pasti memiliki suami yang memperlakukan mereka sebagai mitra sehidup-semati, bukan pelayan, sebagaimana kebiasaan yang sudah mandarah daging selama ini.  

"Lagian, ngapain sih udah nikah dan bekerja, masih ngejar pendidikan tinggi-tinggi?"

Begini teman-teman, rezeki dan timeline setiap orang beda-beda. Ada yang dikasih rezeki bisa kuliah S2 atau S3 sebelum menikah. Tapi ada juga yang baru dikasih setelah menikah. Kalau memang dikasih Tuhan dalam kondisi ketika sudah berkeluarga, ya terus mau apa? Mau protes?

Anda yang suka gatel ngata-ngatain pilihan hidup perempuan, mungkin tidak paham kalau kebutuhan dan kondisi orang beragam. Siapa tahu, perempuan tersebut memang hobi sekolah sehingga ketika dapat kesempatan kuliah S2 atau S3, tidak ingin menyia-nyiakan. Apalagi si perempuan punya suami yang mendukung cita-citanya dan mau berbagi peran dalam mengasuh anak. Kalau saya yang di posisi perempuan itu, saya akan sangat bahagia dan memanfaatkan kesempatan yang ada sebaik-baiknya.

Women support women sudah sering digaungkan. Kita juga butuh yang namanya men support women (bahkan men support men) untuk dapat membangun peradaban yang menjunjung nilai kesetaraan dan keadilan gender.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun