Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Book Artikel Utama

Mencatat Kisah Keluarga Tapol Lewat Novel "Namaku Alam"

27 Oktober 2023   11:16 Diperbarui: 27 Oktober 2023   20:02 1230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sampul depan Novel "Namaku Alam" karya Leila S. Chudori-sumber gambar: dokpri Luna Septalisa

"Mengapa kita jarang percaya pada sejarah?" 

Pertanyaan ini tidak hanya menghentak kesadaran murid-murid kelas 2A SMA Putra Nusa, tapi juga saya sebagai pembaca. "Sejarah ditulis oleh pemenang", pepatah yang sering kita dengar. Namun, bisakah kita menuliskan ulang, seandainya sejarah yang ditulis oleh "pemenang" ternyata banyak mengandung tanda tanya dan muslihat? 

Katanya September itu ceria, tapi tidak demikian bagi sebagian masyarakat Indonesia dengan identitas mantan tahanan politik (tapol) dan/atau keluarga tapol. 

Kutipan dialog yang saya jadikan pembuka artikel ini adalah bagian dari bab pertama novel terbaru karya Leila S. keluaChudori, Namaku Alam (jilid 1). Novel yang sudah dua kali cetak ini merupakan spin off dari novel Pulang yang terbit pada 2012. 

Meski berhubungan dengan sejarah 1965, fokus penceritaan kedua novel tersebut berbeda. Jika Pulang (2012) berkisah tentang kehidupan para eksil di luar negeri, Namaku Alam (2023) mengangkat kisah tentang anak-anak tapol di Indonesia. 

Novel setebal 438 halaman ini berkisah tentang masa kecil hingga remaja sang tokoh utama, Segara Alam, anak Hananto Prawiro--seorang jurnalis yang karena kedekatannya dengan Lekra--dieksekusi pada 1970. 

Sejak ayahnya menjadi buronan selama tahun 1965-1968, rumahnya sering disatroni, baik aparat berseragam maupun berpakaian sipil yang menanyakan keberadaan ayahnya. 

Sejak kecil hidup Alam sudah diliputi dengan kegelapan. Mulai dari ditodong senapan saat usianya baru 3 tahun, dihina sepupunya sebagai "anak pengkhianat negara" sampai terlibat perkelahian dengan anak pengusaha besar yang menyebabkan Alam dan sahabatnya, Bimo Nugroho, pindah sekolah. 

Semua drama dan kengerian dalam hidupnya diperparah dengan photographic memory yang dimilikinya. Di saat banyak orang mengagumi daya ingatnya yang luar biasa itu, Alam justru menganggapnya sebagai kutukan. 

Bagaimana Negara Melanggengkan Kekerasan Pada Tapol dan Keluarganya? 

Tragedi 1965 merupakan salah satu periode terkelam dan paling misterius dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Setelah PKI dinyatakan sebagai pihak yang bersalah dalam pembunuhan para jenderal di Lubang Buaya, orang-orang yang diduga pengurus, anggota dan simpatisan PKI serta underbow-underbownya, diburu, ditangkap, dipenjara dan dieksekusi tanpa pengadilan.

Para tapol perempuan tak kurang menderitanya. Di dalam tahanan, para tapol perempuan juga kerap mengalami pelecehan dan kekerasan seksual. Hal inilah yang terjadi pada Surti Anandari, ibu Segara Alam, ketika ditahan di Budi Kemuliaan. Di rumah tahanan itulah, Alam dan dua kakak perempuannya yang ikut bersama ibu mereka, bertemu dengan pengalaman traumatik lainnya. 

Upaya "pembersihan orang-orang kiri" ini juga menyasar keluarga para tapol. Ruang gerak anak-anak atau keluarga tapol dibatasi oleh program Litsus (penelitian khusus), Bersih Diri dan Bersih Lingkungan. Penguasa saat itu tak peduli apakah ketika salah satu atau kedua orangtua mereka ditangkap, mereka masih bayi atau malah baru lahir beberapa tahun setelah tragedi 1965. 

Ketika kamp Pulau Buru dibubarkan pada 1979, gerak-gerik para tapol pun masih diawasi pemerintah. Mereka tidak bebas berpikir, berbicara, menulis, berkesenian dan sebagainya. Karya-karya jurnalis maupun seniman yang bermuatan kritik sosial sering berhadapan dengan pelarangan atau pembredelan (untuk pers). 

Novel yang terdiri dari 12 bab ini juga menyebutkan bagaimana Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer termasuk dalam buku yang terlarang. Alam dan teman-temannya yang hendak membeli buku tersebut sampai harus melakukannya secara sembunyi-sembunyi. 

Menurut penuturan Leila S. Chudori dalam Zoom Meeting bertajuk "101 tentang Namaku Alam" (3/8/2023), para tapol yang saat itu berprofesi sebagai jurnalis dan penulis kerap menggunakan nama pena untuk menghindari risiko berurusan dengan pemerintah Orba. Setelah Orba tumbang, mereka baru berani mengungkap identitasnya.

Kritik Terhadap Institusi Pendidikan 

Selain mengangkat kisah keluarga tapol sebagai tema besarnya, novel terbitan Penerbit KPG ini juga berisi kritik atas realita dunia pendidikan tanah air, terutama isu perundungan. 

Jika sekarang kita merasa miris melihat perundungan yang dilakukan anak SD, pada zaman dulu sebenarnya juga sudah ada. Hanya saja, di tahun 1970-1980-an (setting waktu dalam novel) belum ada smartphone dan medsos sehingga belum ada yang namanya peristiwa viral.  

Sayangnya, sampai sekarang kita belum punya kebijakan progresif maupun tindakan revolusioner untuk memberantas perundungan di dunia pendidikan. Terlebih, ketika pelaku perundungan adalah murid yang orangtuanya punya uang dan kuasa, sekolah cenderung takut memberikan peringatan dan hukuman. 

Inilah yang terjadi pada Alam, Bimo dan satu temannya lagi bernama Trimulya. Hanya karena pelaku perundungan adalah anak konglomerat, mereka bertiga yang harus mengalah hingga akhirnya pindah sekolah dan bertemu lagi di SMA Putra Nusa. 

Impian akan sekolah yang demokratis, inklusif dan bebas perundungan inilah yang kemudian diimajinasikan penulis melalui satu bab khusus (bab 7) tentang SMA Putra Nusa. Meski hanya sekolah fiktif, sebenarnya, ini juga bisa dibaca sebagai kritik terhadap sistem pendidikan tanah air yang seringkali mengabaikan hal-hal intangible. Akibatnya, pendidikan kita selama ini hanya fokus pada kecerdasan intelektual, tapi lupa membangun kecerdasan emosional serta spiritual, sehingga menghasilkan "manusia-manusia yang tanpa kemanusiaan". 

Leila menggambarkannya sebagai sekolah yang didirikan oleh 7 orang (yang disebut sebagai Kelompok 7) dengan mengusung falsafah pendidikan yang bebas dan mandiri. Selain kurikulum wajib dari pemerintah, sekolah ini juga mampu menyelipkan berbagai mata pelajaran seperti sastra, filsafat, antropologi dan sejarah modern Indonesia. 

Murid-murid dididik dan dibiasakan untuk berpikir kritis dan terbuka. Pembelajaran pun bisa dilakukan di mana saja dan dengan cara apa saja, termasuk lewat menonton film bersama, pergi ke museum atau diskusi dengan mengundang pembicara dari luar. 

Ketika demokrasi menjadi barang mewah di zaman Orba, SMA Putra Nusa menerapkan praktik demokrasi melalui Village Meeting. Dalam agenda tersebut, murid-murid (tidak hanya anak-anak OSIS) juga punya hak suara untuk menentukan kebijakan atau mencari solusi atas masalah di sekolah mereka. 

Betapa indahnya, jika semua sekolah di tanah air bisa seperti ini. 

Upaya Menulis Ulang Sejarah Bangsa

Selama bertahun-tahun, sejarah tragedi 1965 disampaikan berdasarkan versi pemerintah dan diperlakukan sebagai kebenaran tunggal. Selama itu pula, sejarah 1965 dibiarkan berada di ruang gelap, tanpa ada ruang lain untuk kritik, eksplorasi serta diskusi. Untung saja, sekarang tabir tersebut mulai disingkap oleh para akademisi, jurnalis, seniman, sastrawan dan sebagainya melalui berbagai medium. 

Penulis yang pernah bekerja sebagai wartawan Tempo ini mampu mengolah hasil riset yang dilakukannya pada 2006-2007 silam, menjadi karya sastra bernuansa sejarah yang komprehensif sekaligus mencerahkan pikiran pembaca. Selain menelusuri literatur karya para akademisi, risetnya juga dilakukan dengan mewawancarai para saksi sejarah (mantan tapol maupun anak cucunya) yang tidak tercatat dalam sejarah resmi. 

Kehadiran Namaku Alam, maupun dua novel sebelumnya yang juga berlatar sejarah, Pulang dan Laut Bercerita, sekaligus menjadi upaya penulis untuk merawat ingatan kolektif akan sejarah bangsanya. Bahwa sejarah sebagai ilmu seharusnya mampu membuka ruang dialog yang kritis, seiring perkembangan zaman dan fakta-fakta baru yang ditemukan. 

Sejarah sebagai rekaman peristiwa masa lalu yang rentan dimanipulasi untuk kepentingan individu atau kelompok tertentu, perlu ditulis ulang dan disampaikan sesuai kebenaran. 

Jika Alam, Bimo bersama sekitar 30 anak lainnya menggali kebenaran sejarah dan mencatatnya melalui ekskul Para Pencatat Sejarah (PPS), Leila adalah salah satu dari "para pencatat sejarah" di negeri ini yang kualitasnya patut diperhitungkan, baik melalui kiprahnya dulu sebagai wartawan, maupun sekarang sebagai penulis.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun