Tragedi 1965 merupakan salah satu periode terkelam dan paling misterius dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Setelah PKI dinyatakan sebagai pihak yang bersalah dalam pembunuhan para jenderal di Lubang Buaya, orang-orang yang diduga pengurus, anggota dan simpatisan PKI serta underbow-underbownya, diburu, ditangkap, dipenjara dan dieksekusi tanpa pengadilan.
Para tapol perempuan tak kurang menderitanya. Di dalam tahanan, para tapol perempuan juga kerap mengalami pelecehan dan kekerasan seksual. Hal inilah yang terjadi pada Surti Anandari, ibu Segara Alam, ketika ditahan di Budi Kemuliaan. Di rumah tahanan itulah, Alam dan dua kakak perempuannya yang ikut bersama ibu mereka, bertemu dengan pengalaman traumatik lainnya.Â
Upaya "pembersihan orang-orang kiri" ini juga menyasar keluarga para tapol. Ruang gerak anak-anak atau keluarga tapol dibatasi oleh program Litsus (penelitian khusus), Bersih Diri dan Bersih Lingkungan. Penguasa saat itu tak peduli apakah ketika salah satu atau kedua orangtua mereka ditangkap, mereka masih bayi atau malah baru lahir beberapa tahun setelah tragedi 1965.Â
Ketika kamp Pulau Buru dibubarkan pada 1979, gerak-gerik para tapol pun masih diawasi pemerintah. Mereka tidak bebas berpikir, berbicara, menulis, berkesenian dan sebagainya. Karya-karya jurnalis maupun seniman yang bermuatan kritik sosial sering berhadapan dengan pelarangan atau pembredelan (untuk pers).Â
Novel yang terdiri dari 12 bab ini juga menyebutkan bagaimana Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer termasuk dalam buku yang terlarang. Alam dan teman-temannya yang hendak membeli buku tersebut sampai harus melakukannya secara sembunyi-sembunyi.Â
Menurut penuturan Leila S. Chudori dalam Zoom Meeting bertajuk "101 tentang Namaku Alam" (3/8/2023), para tapol yang saat itu berprofesi sebagai jurnalis dan penulis kerap menggunakan nama pena untuk menghindari risiko berurusan dengan pemerintah Orba. Setelah Orba tumbang, mereka baru berani mengungkap identitasnya.
Kritik Terhadap Institusi PendidikanÂ
Selain mengangkat kisah keluarga tapol sebagai tema besarnya, novel terbitan Penerbit KPG ini juga berisi kritik atas realita dunia pendidikan tanah air, terutama isu perundungan.Â
Jika sekarang kita merasa miris melihat perundungan yang dilakukan anak SD, pada zaman dulu sebenarnya juga sudah ada. Hanya saja, di tahun 1970-1980-an (setting waktu dalam novel) belum ada smartphone dan medsos sehingga belum ada yang namanya peristiwa viral. Â
Sayangnya, sampai sekarang kita belum punya kebijakan progresif maupun tindakan revolusioner untuk memberantas perundungan di dunia pendidikan. Terlebih, ketika pelaku perundungan adalah murid yang orangtuanya punya uang dan kuasa, sekolah cenderung takut memberikan peringatan dan hukuman.Â
Inilah yang terjadi pada Alam, Bimo dan satu temannya lagi bernama Trimulya. Hanya karena pelaku perundungan adalah anak konglomerat, mereka bertiga yang harus mengalah hingga akhirnya pindah sekolah dan bertemu lagi di SMA Putra Nusa.Â