Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Sebelum Menuding WNI Pindah Kewarganegaraan Tidak Nasionalis, Sebaiknya Pemerintah Introspeksi

21 Juli 2023   07:28 Diperbarui: 21 Juli 2023   08:58 812
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi Singapura, salah satu negara tujuan WNI yang pindah kewarganegaraan-sumber: David Mark from pixabay

Mantan Presiden AS, John F. Kennedy pernah berujar, "Jangan tanyakan apa yang negara berikan kepadamu, tapi tanyakan apa yang kamu berikan pada negara". Kutipan legendaris ini seolah dijadikan alat untuk menagih dan mempertanyakan nasionalisme masyarakat. Namun, masih relevankah kutipan tersebut dengan fenomena WNI pindah kewarganegaraan yang sedang ramai belakangan ini? 

Meski baru ramai belakangan ini, sebenarnya fenomena WNI pindah kewarganegaraan bukan hal baru. Ia sudah ada sejak abad ke-20 dan dilandasi oleh berbagai faktor. 

Di zaman sebelum hingga awal kemerdekaan, perpindahan warga negara ke negara lain banyak didorong oleh faktor perdagangan dan peperangan.

Perpindahan kewarganegaraan juga terpaksa dialami oleh para eksil 1965 yang tidak dapat kembali ke Indonesia karena geger politik tanah air saat itu. 

Di era modern, perpindahan kewarganegaraan lebih sering dipengaruhi oleh kebutuhan untuk mencari penghidupan yang lebih baik dan layak. Entah itu dalam hal pendidikan, pekerjaan, ketersediaan infrastruktur atau fasilitas publik maupun alasan-alasan personal lainnya. 

Namun masalah pindah kewarganegaraan ini menuai pro kontra. Tidak sedikit dari kelompok yang kontra menyebut mereka tidak nasionalis. 

Alih-alih melabeli mereka tidak nasionalis, perpindahan kewarganegaraan para WNI seharusnya dapat dijadikan bahan introspeksi dan evaluasi para pemangku kebijakan di negara ini. 

Pertama, kultur birokrasi dan pelayanan publik yang berbelit-belit 

Salah satu alasan yang membuat WNI merasa nyaman hidup di negara perantauannya adalah fasilitas dan pelayanan publik yang berkualitas. 

Sistem transportasi umum yang terintegrasi dan mampu menjangkau banyak daerah, sistem pendidikan yang memberdayakan anak didik, penyaluran bantuan sosial yang tepat sasaran, kinerja pelayan masyarakat yang cepat dan tanggap adalah beberapa hal yang telah mampu disediakan oleh negara maju untuk menunjang kehidupan masyarakatnya. 

Kultur birokrasi dan pelayanan publik yang berbelit-belit di negara ini tak lepas dari tingkat korupsi yang tinggi. 

Mau ngurus apa-apa harus keluar uang. Diajukan ke institusi A, dilempar ke institusi B. Mungkin prinsip "kalau bisa dipersulit ngapain dipermudah" sudah menjadi jalan ninja mereka. 

Masyarakat itu butuh pelayanan yang cepat, tanggap, transparan dan kompeten. Dan tidak semua orang punya banyak waktu luang serta stok sabar unlimited untuk berurusan dengan sistem yang ribet ini. Jadi, tolong ya, pak, bu, sistem dan kulturnya di-upgrade. 

Kedua, kesempatan kerja minim dan sistem ketenagakerjaan yang tidak manusiawi 

Dunia kerja di negara maju yang kompetitif tapi mampu menghargai kemampuan pekerjanya-sumber: fauxels from pexels
Dunia kerja di negara maju yang kompetitif tapi mampu menghargai kemampuan pekerjanya-sumber: fauxels from pexels
Tak sedikit WNI yang pindah kewarganegaraan karena peluang kerja di negara lain yang lebih beragam. Selain itu, mereka juga merasa bahwa sistem ketenagakerjaan di negara tersebut lebih memanusiakan pekerja. 

Gaji yang sesuai dengan keahlian, pengalaman dan beban kerja, perlindungan kesehatan dan keamanan serta lingkungan kerja yang inklusif dan menghargai keberagaman adalah gambaran tempat kerja idaman banyak pekerja dan pencari kerja. 

Meski persaingannya ketat, iklim dunia kerja di negara maju sangat menghargai kompetensi dan karya seseorang. 

Kalau Indonesia takut kehilangan talenta-talenta mudanya, perluas lapangan dan peluang kerja, perbaiki sistem pengupahan, perlindungan tenaga kerja, jam kerja dan sederet problem struktural serta kultural yang menghambat pekerja untuk sejahtera. 

Selama pekerja  masih dieksploitasi dengan dalih jam kerja fleksibel, loyalitas dan omong kosong lainnya, tidak menutup kemungkinan kalau mereka yang punya kesempatan dan sumber daya lebih, cenderung memilih bekerja di luar negeri. 

Ketiga,  penegakan hukum yang "tajam ke bawah, tumpul ke atas" 

ilustrasi penegakan hukum yang tegas-sumber: Ekaterina Bolovtsova from pexels
ilustrasi penegakan hukum yang tegas-sumber: Ekaterina Bolovtsova from pexels
Negara tetangga, Malaysia menerapkan hukum gantung bagi koruptor. 

Di Jerman, seseorang yang terbukti korupsi wajib mengembalikan seluruh uang yang dikorupsi dan mendekam selama kira-kira 5 tahun di penjara. 

Jepang, meski tidak memiliki undang-undang khusus mengenai korupsi, pelaku akan diganjar hukuman 7 tahun penjara. Namun, karena budaya malu orang Jepang yang tinggi, pejabat yang korupsi akan memilih bunuh diri ketimbang menanggung aib. 

Bicara tentang hukuman atas tindak pidana korupsi, kurang lengkap rasanya kalau tidak menyebut nama Tiongkok. Negeri tirai bambu itu menerapkan hukuman mati pada mereka yang terbukti merugikan negara lebih dari 100.000 yuan atau setara Rp 215 juta. Hal ini membuat Tiongkok menjadi salah satu negara dengan hukuman paling keras pada koruptor. 

Ini baru satu hal, tentang korupsi. Belum hukuman atas kejahatan yang lain. 

Penegakan hukum yang tegas dan tidak pandang bulu akan menciptakan kehidupan masyarakat yang aman, tertib dan teratur. Ditambah lagi dengan budaya disiplin yang sudah mengakar dalam diri setiap masyarakatnya. 

Bagaimana dengan Indonesia? Kita semua tentu sudah tahu jawabannya. 

Wasana Kata 

Tudingan tidak nasionalis pada mereka ini membuat saya berpikir, apa sih makna nasionalisme yang sebenarnya? 

Benarkah nasionalisme perlu dibatasi oleh sesuatu yang bersifat fisik dan serba murni seperti status kewarganegaraan, tempat tinggal dan kerja, makanan yang dimakan, pakaian yang dikenakan atau bahasa yang sehari-hari digunakan? 

Kutipan Presiden Kennedy yang saya tulis di awal artikel ini justru terasa miris ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa di suatu negara, masih banyak orang yang kesulitan mengakses hak-hak dasarnya. Sementara pembangunan yang dijalankan malah merampas ruang hidup mereka. 

Ibarat orang pacaran, kalau kamu ingin dia bertahan, kamu harus buktikan kalau kamu memang layak dipertahankan. Ketika kamu memaksa dia untuk tetap setia, tapi kamu toksik dan janji untuk berubah tidak ditepati,  wajar dong, kalau suatu saat dia meninggalkanmu. 

Dalam konteks negara, kalau banyak WNI sampai pindah kewarganegaraan, coba deh introspeksi. Jangan sampai mereka diminta tetap hidup di sini, tapi sistem yang bobrok tidak kunjung diperbaiki. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun